Sunday, February 10, 2019

Konsep Pemikiran Wilayah Faqih Imam Ayatullah Ruhullah Khomeini



A.  Pendahuluan
Revolusi Islam Iran telah mengembalikan faham syi>’ah ke tengah-tengah dunia, baik dari segi keislaman maupun dari segi hubungan internasional. Pada tanggal 11 Januari 1979, Syah Reza Pahlevi yang sebelumnya berkuasa ditumbangkan dalam sebuah revolusi Islam, yang dipeleopori oleh Ayatullah Khomeini. Dengan demikian, terjadilah sebuah perubahan besar dalam pemikiran politik di timur tengah pada khususnya dan dunia umumnya. Sebelum revolusi ini Syah Reza Pahlevi dianggap sebagai seseorang yang paling berkuasa di Iran. Kekuatan militer yang telah dibangunnya sejak lama. Ia telah berhasil memakmurkan rakyatnya dengan jalan mengadakan pembangunan terutama di bidang pertanian yang terkenal dengan Revolusi Putih. Semua pembangunan yang dilakukan oleh Syah Iran adalah akibat dari pendapatan besar yang diterima dari hasil minyak bumi.
Akan tetapi, segala hasil yang telah dicapai itu dibayar dengan harga yang cukup mahal.  Syah Iran semakin jauh dari kelompok pemuka agama. Para pemuka agama ini merasa resah terhadap proses sekularisasi yang terjadi sehingga semakin lama semakin jauh dari semangat agama Islam. Karena itu, golongan pemuka agama ini telah berubah menjadi kelompok oposisi yang memiliki potensi untuk mendatangkan bahaya besar bagi rezim Syah Iran.[1]
Pada bidang luar negeri Iran dibawah Syah Reza Pahlevi menjadi sekutu Amerika Serikat. Sehingga telah jelas bahwa sekularisasi agama dan negara tengah terjadi di Negara Iran.

B.  Biografi
Ayatullah Ruhullah Khomeini lahir di Khomein pada tanggal 24 oktober 1902. Khomein merupakan dusun yang berada di Iran Tengah. Keluarga Khomeini adalah keluarga Sayyid Musawi, keturunan nabi melalui jalur Imam Musa al-Kazhim, Mereka berasal dari Neisyabur, Iran Timur Laut. Pada awal abad ke 19, keluarga ini bermigrasi ke India, dan bermukim di kota kecil Kintur di dekat Lucknow di Kerajaan Qudh.[2]
Kakek Imam Khomeini yang bernama Sayyid Ahmad Musawi Hindi, lahir di Kintur. Keluarga kakeknya adalah keluarga ulama terkemuka, Mir Hamed Husein Hindi Neisyaburi, yang karyanya aba>qat al-Anwa>r, jadi kebanggaan umat muslim di India. Sayyid Ahmad meninggalkan India pada sekitar tahun 1830 untuk berziarah ke Kota suci Najaf, Irak. Di Najaf, ia bertemu seorang saudagar terkemuka dari Khomein. Menerima undangan sang saudagar Sayyid Ahmad lalu pergi ke Khomein untuk jadi pembimbing spiritual di dusun itu.
Di Khomein Sayyid Ahmad menikah dengan Sakinah, putri tuan rumahnya. Pasangan ini dikaruniai empat anak, antara lain, Sayyid Mustafa yang lahir pada 1856. Sayyid Mustafa belajar di Najaf, dibawah bimbingan Mirza Hasan Syirazi, kemudian pada 1894 kembali ke Khomein. Disana dia menjadi ulama dan dikaruniai enam anak. Imam Khomeini adalah yang bungsu. Ketika Imam masih berusia sembilan bulan, ayahnya dibunuh karena menentang Dinasti Qajar.
Semasa kecil, Imam Khomeini mulai belajar bahasa Arab, syair Persia, dan Kaligrafi di sekolah negeri dan di makta>b. Menjelang dewasa Imam Khomeini mulai belajar agama dengan lebih serius. Ketika berusia lima belas tahun, dia mulai belajar tata bahasa Arab  kepada saudaranya. Murtaza, yang belajar bahasa Arab dan teologi di Isfahan. Pada usia tujuh belas tahun Imam Khomeini pergi ke Arak, kota dekat Isfahan untuk belajar dari Syekh Abdul Karim Haeri Yazdi, seorang ulama yang terkemuka yang meninggalkan Karbala untuk menghindari pergolakan politik. Sikap ini kemudian mendorong kebanyakan ulama terkemuka untuk menyatakan penentangannya kepada pemerintahan Inggris.
Setelah runtuhnya imperium Utsmaniah, Syekh Haeri enggan tinggal di kota-kota yang ada di bawah mandat Inggris. Ia kemudian pindah ke Qum. Imam Khomeini lima bulan kemudian mengikuti jejak Syekh Haeri pindah ke Qum. Di tempat yang baru ini Imam Khomeini belajar retorika syair dan tata bahasa dari gurunya yang bernama Syekh Muhammad Reza Masjed Syahi. Selama belajar di Qum. Imam Khomeini menyelesaikan studi fikih dan ushul dengan seorang guru dari Kasyan, yang sebelas tahun lebih tua darinya, yaitu Ayatullah Alio Yasrebi.
Pada awal tahun 1930-an, dia menjadi mujtahid dan menerima ijazah untuk menyampaikan hadis dari empat guru terkemuka. Yang pertama dari keempat guru itu adalah Syekh Muhsin Amin Ameli, seorang ulama terkemuka dari Lebanon. Yang kedua adalah Syekh Abbas Qummi, ahli hadis dan sejarawan terkemuka. Qummi adalah penulis buku mafa>tih al-Jina>n (kunci surga). Guru ketiganya adalah Abul Qosim Dehkordi Isfahani, seorang mulla>h terkemuka di Isfahan. Guru keempatnya adalah Muhammad Reza Masjed Syahi, yang datang ke Qum pada tahun 1925 karena protes menentang kebijakan Syah Reza yang anti Islam.
Pada usia 27 tahun, Imam Khomeini menikah dengan Syarifah Batul, putri dari seorang Ayatullah yang bermukim di Teheran. Mereka dikaruniai 5 orang anak, 2 putra dan 3 putri.
Imam Khomeini wafat pada tanggal 3 Juni 1989 dengan memberikan keyakinan kepada suatu kaum Muslim di seluruh dunia.bahwa ajaran Islam merupakan ajaran yang mampu menuntun manusia menuju kebenaran.

C.  Pemikiran
Imam Ayatullah Khomeini merespon terhadap modernisasi dan sekulerisasi Iran oleh Reza Syah Pahlevi pada sekitar tahun 1930-an. Pada tahun 1941, saat Syah Reza terpaksa turun tahta, Khomeini memandangnya sebagai akhir dari serangan ideologis dan kultural Barat, dan ia menganjurkan kekuasaan negara berbentuk ulama bersatu untuk menyiasati keadaan ini.[3] Menurutnya, ulama merupakan mereka yang menghasilkan konstitusi dan menjamin kebebasan untuk menyatakan pendapat. Khomeini dengan tegas menjelaskan bahwa penghinaan terhadap ulama sama saja dengan penghinaan terhadap Islam.
Pada saat ingin mengembangkan pemikirannya tersebut, Khomeini sempat ditahan di penjara karena ia dituduh sebagai provokator utama yang berunjuk rasa anti Syah Reza. Namun, ia tetap menyebarluaskan pernyataan-pernyataannya dalam bentuk tulisan dan kaset pidato, hingga ia memiliki banyak pendukung dan berhasil menggulingkan pemerintahan Syah Reza dan Iran berubah menjadi Republik Islam Iran dengan Khomeini menjabat sebagai pemimpin spiritual tertinggi Iran.
Khomeini memiliki konsep beranggapan bahwa suatu negara Islam sebenarnya merupakan suatu kenyataan yang segera bisa disepakati, khususnya di kalangan syi>’ah. Ini tercantum sebagai kalimat pembuka dalam karyanya Huku>mat-i Isla>m.[4] Menurutnya, umat Muslim diwajibkan untuk menaati ulil amri  disamping Allah dan Rasul-Nya. Ini berarti diwajibkannya umat Muslim membentuk pemerintahan, Oleh karena itu, menurutya tak ada gunanya suatu peraturan tanpa adanya kekuasaan eksekutif yang memaksakan pelaksanaan hukum Islam. Kewajiban membentuk negara dan pemerintahan Islam juga tampak dari kewajiban menjaga integritas wilayah Islam. Bahkan fungsi dari sifat dan hukum Islam dijadikannya dasar untuk mengelola urusan politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan.
Negara menurut Khomeini merupakan instrumen bagi pelaksanaan undang-undang Tuhan di muka bumi. Tidak seperti demokrasi (murni), pada dasarnya tak ada hak negara yakni lembaga legislatif, sebagai wakil rakyat (demos) untuk membuat undang-undang. Otoritas membuat undang-undang dan kedaulatan ada di tangan Allah. Memberikan kepada rakyat hak untuk membuat undang-undang, selain bertentangan dengan ajaran Islam sebagaimana diyakini Imam Khomeini, juga hanya akan memaksa negara untuk menerima perundang-undangan yang boleh jadi buruk tetapi merupakan kemauan rakyat atau pun menolak perundang-undangan yang baik hanya karena bertentangan dengan kehendak rakyat.
Kemudian salah satu alternatif yang dicanangkan oleh Khomeini dalam menanggapai permasalahan diatas adalah dengan menerapkan konsep wilayah faqih (pemerintahan faqih/ulama-ulama mujtahid) yang berada dalam bukunya, berjudul tafsi>l al-Syari>’ah, berkaitan dengan konsep-konsep dasar pemikiran politik religius syi>’ah, seperti : kesetiaan, imamah, dan taqli>d. Oleh karena itu, kepemimpinan Islam diwujudkan dalam imamah yang diwakili oleh para Rasul Allah dan para imam yang harus dipatuhi oleh umat Islam. Selanjutnya ia menegaskan bahwa selama keghaiban Imam al-Mahdi, imamah dilanjutkan oleh kepemimpinan faqih. Jadi, faqih atau mujtahid memiliki hak memerintah sebagai wakil imam. Kemudian dalam urusan keagamaan dan sosial politik, hubungan masyarakat dengan faqih didasari oleh konsep taqli>d, yakni mematuhi faqih seperti mematuhi imam.
Selain itu, sebagaimana pada pasal 5 konstitusi Iran mengenai Wilayah faqih menyatakan bahwa selama ghaibnya sha>ib Al-Zama>n yaitu Imam Mahdi wilayah dan kepemimpinan umat beralih ke faqih yang adil dan shaleh. Selain itu, yang memahami benar keadaan zamannya serta berani, cerdas, dan mampu memerintah serta diakui dan diterima sebagai pemimpin oleh mayoritas rakyat.
Adapun, Salah satu landasan wilayah faqih adalah bersumber dari Imam Ja’far Al-Shadiq, imam keenam:
Menyangkal wewenang seorang mujtahid berarti menentang wewenang Imam. Menentang wewenang imam berarti menentang wewenang Nabi SAW. Menentang wewenang Nabi SAW, berarti menentang wewenang Allah. Menentang wewenang Allah, sama dengan syirik.

Selain itu, secara lebih terperinci hadist yang berasal dari Imam al-Ridha dibawah ini menjelaskan peran seorang wali:
Pemimpin (wali) umat adalah sarana untuk melindungi iman dan jaminan bagi persatuan struktur sosial, pengembangan ekonomi, dan penerapan hukum-hukum Tuhan. Keberadaannya menjamin keamanan perbatasan negeri dan penerapan hudud (hukum pidana). Ia menjamin pemberian hak-hak Ilahi, memelihara integritas iman, dan menjaga kehormatan umat Islam. Ia menimbulkan kemarahan dan kesedihan di dalam hati kaum munafik dan merancang penghancuran kaum kafir. Imam umat adalah penggembala rakyat, negarawan, dan administrator yang cakap urusan-urusan mereka, yang kehendak dan keteguhannya tak pernah memudar dan melemah.

Kemudian, penerapan konsep wilayah faqih di negara Iran dapat dilihat sejak runtuhnya dinasti Syah. Sebagaimana diketahui, kepala negara adalah Imam kedua belas yang selama masih ghaib diwakili oleh faqih atau Dewan faqih (Dewan Keimaman). Kepala pemerintahan dipegang oleh seorang presiden yang walaupun dipilih oleh rakyat tapi diangkat, dilantik, dan diberhentikan oleh faqih atau Dewan Faqih. Ketua kabinet (dewan menteri-menteri) dipegang oleh perdana menteri yang dipilih, diangkat, dan diberhentikan oleh Presiden, setelah mendapat persetujuan dari badan legislatif dengan demikian kabinet bertanggungjawab kepada badan legislatif. Selain itu, dikenal pula Dewan Pelindung Konstitusi, yang dewan ini disebut juga sebagai Dewan Perwalian atau The Guardian Council of Constitution yang bertugas mengawasi agar undang-undang yang dibuat oleh Dewan Pertimbangan Nasional Iran tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan konstitusi Iran.[5]
Akan tetapi, konsep Wilayah faqih Ayatullah Khomeini juga didapati beberapa argumentasi oleh beberapa pakar. Beberapa pakar tersebut menilai bahwa wilayah faqih itu sebagai pemerintahan demokratis sedangkan yang lainnya menganggap mungkinnya sintesis antara (unsur-unsur) demokrasi dan (unsur-unsur) nondemokrasi sehingga melabelinya dengan model pemerintahan semidemokratis.

D.  Analisis
Konsep Wilayah Faqih yang dikemukakan oleh Khomeini bisa menjadi salah satu alternatif dalam menerapkan pemerintahan Islam. Pada bulan januari 1979, ketika masih di pengasingan di Neauphlele Chateau sebuah desa kecil 30 km dari Paris, Imam Khomeini ketika ditanya tentang bentuk negara Islam apa yang ia cita-citakan, lantas ia menjawab:
Seperti 10 tahun pemerintahan Rasulullah SAW atau 5 tahun pemerintahan Imam Ali bin Abi Thalib.

Bagi imam Khomeini, negara Islam seperti Arab Saudi, Libya, dan lainnya bukanlah contoh dari sebuah negara Islam yang berhasil dan patut ditiru. Pemikiran Khomeini tentang wilayah Faqih setidaknya dilatarbelakangi oleh empat faktor, yakni:[6]
1.    Berakhirnya Imamah, dalam pengertian dianggap sebagai masa “keghaiban besar atau sempurna”, yaitu masa sesudah meninggalnya keempat wakil Imam (niya>bah al-Ima>m) sampai kedatangan kembali al-Mahdi pada akhir zaman. Pada masa setelah berakhirnya perwakilan Imam (dari 941M dan seterusnya) yang biasa disebut dengan perwakilan umum inilah kepemimpinan dilanjutkan oleh para faqih. Apabila pelembagaan perwakilan Imam dipandang sebagai satu-satunya jalan untuk melestarikan struktur sosial-keagamaan umat Imamiah. Oleh karenanya mereka benar-benar menjadi imam-imam fungsional yang memiliki potensi untuk menjadi sultha>n al-Zama>n (otoritas yang berkuasa pada suatu waktu) maka demikian pula dengan tugas dan fungsi perwakilan umum yang diemban oleh para faqih dibawah komando Khomeini. Meskipun keberadaan para faqih itu tidak ditunjuk langsung oleh para wakil Imam sebelumnya.
2.    Pelembagaan konsep wilayah faqih. Adapun maksud dari faktor ini adalah sebagai upaya mengisi kevakuman imamah sekaligus menjaga kelestariannya. Pemikiran demikian dapat dipahami karena imamah bagi umat syi>’ah adalah elemen keimanan yang wajib ada dan harus dipatuhi. Dengan adanya para faqih yang mengemban fungsi teologis-politis sebagaimana pendahulunya, sekaligus menempatkan mereka sebagai sultha>n al-zama>n li-tadbi>r al-ana>m (otoritas yang ditunjuk untuk mengelolah urusan-urusan umat manusia), dan dapat pula diartikan sebagai kreativitas imam Khomeini sebagai penggagas konsep wilayah faqih.
3.    Idealisasi politik syi>’ah yang termanifestasikan dalam diri Khomeini. Artinya, bila pada abad-abad sebelumnya Islam syi>’ah belum berhasil mewujudkan cita-cita politiknya, yaitu terciptanya tatanan masyarakat Islam dibawah pemerintahan Imam sebagai pemegang kekuasaan untuk menggantikan pemerintahan tirani yang dzalim, maka pada abad XX cita-cita tersebut dapat terealisasikan melalui perjuangan panjang seorang wakil Imam, Ayatullah Khomeini. Meskipun, harus diingat bahwa kekuasaan dan jabatan seorang faqih Khomeini tidak sebesar imam-imam sebelumnya. Dalam pengertian, tingkat keimanan Khomeini adalah satu tingkat dibawah imam yang dua belas karena ia hanya menempati posisi sebagai perwakilan umum.
4.    Semakin mendesaknya diberlakukan konsep wilayah faqih karena banyaknya anomali kekuasaan yang dilakukan oleh Syah Reza Pahlevi, baik dalam bidang ekonomi, sosial-budaya maupun politik sebagai akses dari ambisi syi>’ah Iran untuk mempercepat proses modernisasi negaranya yang pada gilirannya berakibat pula pada proses de-Islamisasi terutama di bidang sosial-budaya dan politik
Kemudian, disisi lain diterimanya Konstitusi Iran melalui referendum tanggal 2 dan 3 Desember 1979, Iran kemudian melangkah ke arah normalisasi kehidupan politik. Konstitusi yang terdiri dari 175 artikel dibuat berdasarkan hukum Islam yang ditafsirkan oleh sebuah Dewan Ahli dan telah mendapat persetujuan dari Imam Khomeini. Ada lima lembaga penting di dalamnya, yakni.
1.      Faqih
2.      Presiden
3.      Perdana Menteri
4.      Parlemen
5.      Dewan Pelindung Konstitusi.
Kekuasaan terbesar dipegang oleh Faqih yang dipilih oleh Dewan Ahli dengan mengikuti syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut, diantaranya adalah ‘ada>lah (keutamaan dalam hal iman dan akhlak yang memampukan ia menjauhkan diri dari dosa-dosa, faqa>ha (penguasaan atas hukum fikih Islam), dan kafa>’ah (keterampilan kepemimpinan). Apabila syarat-syarat yang telah ditentukan tidak memenuhi syarat, maka wewenang Faqih akan dipegang oleh sebuah dewan yang beranggotakan 2 sampai 5 orang Fuqaha. Adapun wewenang seorang Faqih, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Mengangkat Ketua Pengadilan Tertinggi Iran
2.      Mengangkat dan memberhentikan seluruh Pimpinan Angkatan Bersenjata Iran
3.      Mengangkat dan memberhentikan Pimpinan Pengawal Revolusi (Pasdaran)
4.      Mengangkat anggota Dewan Pelindung Konstitusi
5.      Membentuk Dewan Pertahanan Nasional yang anggota-anggotanya terdiri dari Presiden, Perdana Menteri, Menteri Pertahanan, KSAB, Kepala Pasdaran, dan dua orang penasehat yang diangkat oleh Faqih.
Selanjutnya, pemegang kekuasaan terbesar kedua dibawah seorang Faqih adalah Presiden yang dipilih setiap empat tahun. Tugas-tugas pokoknya diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Menjalankan konstitusi negara
2.      Menjadi Kepala Pemerintahan
3.      Mengkoordinasikan Ketiga Lembaga Negara (Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif)
Dalam hal ini, Presiden merupakan pejabat tertinggi pemerintahan Iran dalam kaitannya dengan dunia luar atau internasional. Presiden mendatangani seluruh perjanjian dan berhak mengangkat Perdana Menteri setelah parlemen memberikan persetujuannya. Presiden dapat meminta kabinet untuk bersidang kapan saja, langsung dibawah pimpinannya.
Kemudian, kekuasaan legislatif dipegang oleh parlemen yang beranggotakan 270 orang yang dipilih secara bebas dan rahasia oleh rakyat. Parlemen bertugas mengawasi, mengontrol, dan membahas seluruh kebijakan pemerintah. Seluruh keputusan dan perjanjian nantinya yang dibuat pemerintah harus mendapat persetujuan parlemen.
Disamping parlemen, terdapat sebuah badan yang disebut Dewan Pelindung Konstitusi yang beranggotakan dua belas orang. Enam orang anggotanya adalah para ahli hukum (Fuqa>ha>) yang diangkat oleh Faqih, sedangkan enam orang lainnya terdiri dari ahli hukum umum yang diusulkan oleh Dewan Pengadilan Tinggi Iran dan disetujui oleh parlemen. Tanpa persetujuan Dewan Pelindung Konstitusi, seluruh kegiatan parlemen tidaklah sah. Tugas utama dewan ini adalah melindungi Islam dan konstitusi Negara Islam Iran. Dewan ini memiliki kekuasaan untuk menafsirkan Konstitusi Iran dan bertugas melaksanakan referendum, pemilihan presiden, dan pemilihan anggota parlemen.

E.  Kesimpulan
Pemikiran politik Islam modern Ayatullah atau Imam Khomaini yang berhasil mengubah Iran yang semula merupakan negara sekuler menjadi negara integrated, yakni negara Islam adalah bermula saat ia mulai memulai karirnya sebagai  seorang guru filsafat dan tasawuf. Sejak itu keberaniannya mulai muncul dengan selalu menyebarluaskan nasihat-nasihatnya dalam bentuk tulisan dan kaset pidato saat ia ditahan karena dianggap sebagai provokator untuk meruntuhkan kepemimpinan Syah Reza.
Kemudian strateginya tersebut tergabung dalam konsep wilayah faqihnya yang menerapkan konsep –konsep dasar  pemikiran politik religius syi>’ah, (kesetiaan, imamah, dan taqli>d) dimana ketiga aspek itu mewajibkan seluruh umat muslim untuk menghormati dan mematuhi imam sebagaimana mematuhi Rasulullah yang selanjutnya juga diwajibkan untuk mematuhi faqih seperti mematuhi imam.
Akan tetapi, disisi lain perlu disadari sebagai gagasan besar konsep ini juga mengandung kelemahan. Diantaranya adalah persoalan kriteria faqih yang bisa diangkat sebagai pemimpin jelas tidak mudah. Hal ini terlihat sesudah wafatnya Ayatullah Khomeini. Meskipun, proses pemilihan Ayatullah Khomeini berjalan cukup baik, bahkan sangat singkat namun banyak kalangan menilai bahwa kelasnya masih jauh dibawah tokoh yang digantikannya.


DAFTAR PUSTAKA
Maulachela, Muhammad Anis. 2002. Sistem Pemerintahan Islam Imam Khomeini. Jakarta: Pustaka Zahra
Rakhmat, Jalaluddin. 2002. Antara Al-Farabi dan Khomaini Filsafat Politik Islam. Bandung: Mizan
Saefuddin, Didin. 2003. Biografi Intelektual 17 Tokoh Pemikiran Modern dan Post modern Islam. Jakarta: PT. Grasindo
SJ, Fadli & Abdul Halim. 2011. Politik Islam Syi’ah dari Imamah hingga Wilayah Faqih. Malang: UIN Maliki Press
Syafiie, Inu Kencana. 2010. Ilmu Politik. Jakarta: Rineka Cipta
Zainuddin, A. Rahman.2004. Pemikiran Politik Islam. Jakarta: Grafika Indah




[1] A. Rahman Zainuddin, Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Grafika Indah, 2004),232.
[2] Imam Khomeini, Sistem Pemrintahan Islam (terj), (Jakarta: Pustaa Zahra, 2002), 9.
[3] Didin Saefuddin, Biografi Intelektual 17 Tokoh Pemikiran Modern dan Post modern Islam, (Jakarta:PT Grasindo, 2003),115.
[4] Jalaluddin Rakhmat, Antara Al-Farabi dan Khomaini Filsafat Politik Islam,(Bandung:Mizan, 2002),114.
[5] Inu Kencana Syafiie, Ilmu Politik, (Jakarta:Rineka Cipta, 2010),222.
[6] Fadli SJ & Abdul Halim, Politik Islam syi’ah dari Imamah hingga Wilayah Faqih, (Malang:UIN-Maliki Press, 2011),108-112.

Sunday, February 3, 2019

Tokoh Pemikiran Ekonomi Islam




1.      Periode Pertama/Fondasi(Masa Awal Islam-450H/1058M)
Pada periode ini banyak sarjanah Muslim yang pernahhidup bersama para sahabat Rosulullah dan para tabiin sehingga dapat memperoleh refrensi ajaran Islam yang autentik. Beberapa diantara mereka antara lain: Hasan Al-Basri, Zayd bin Ali, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan Al Shyabani, Yahya bin Adam, Shyafi’i, Abu Ubayd, Ahmad bin Hambal, Al-Kindi, Junayd Baghdadi, Al-farabi, Ibn Miskwayh, Ibn Sina, dan Mawardi.[1]

a.      Abu Hanifah (80-150H/699-767M)
Abu hanifah al-nu’man ibn sabit bin zauti, ahli hukum agama islam dilahirkan dikufah pada 699 M masa pemerintahan abdul malik bin Marwan. Ia banyak meninggalkan karya tulis, antara lain Al-makharif fi Al-fiqh, Al-musnad, dan Al-fiqh Al-akbar. Abu hanifah menyumbangkan beberapa konsep ekonomi, salah satunya adalah salam, yaitu suatu bentuk transaksi dimana antara pihak penjual dan pembeli sepakat bila barang yang dibeli dikirimkan setelah dibayar secara tunai pada waktu kontrak yang disepakati. Salah satu kebijakan abu hanifah adalah menghilangkan ambiguitas dan perselisihan dalam masalah transaksi; hal ini merupakan salah satu tujuan syariah dalam hubungannya dengan jual beli.

b.      Abu Yusuf (113-182H/731-789 M)
Abu yusuf barangkali merupakan fuqaha pertama yang memiliki buku (kitab) yang secara khusus membahas masalah ekonomi. Kitabnya yang berjudul Al-Kharaj, banyak membahas ekonomi public, khususnya tentang perpajakan dan peran negra dalam pembangunnan ekonomi. Abu yusuf menekankan pentingnya prinsif keadilan, kewajaran, dan penyesuaian terhadap kemampuan membayar dalam perpajakan, serta perlunya akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan Negara. Ia juga membahas taknik dan system pemungutan pajak, serta perlunya sentralisasi pengambulan keputusan dalam administrasi perpajakan.

c.       Muhammad bin Al-Hasan Al-Shyabani (132-189H/750-804M)
Muhammad bin abdul al-hasan telah menulis beberapa buku, antara lain kitab al-iktisab fiil rizq al-mustahab(book on erning a clean living) dan kitab al asl. Buku yang pertama banyak membahas berbagai aturan syariat tentang ijarah,tijarah, ziraah, dan sinaah (hiring out, trade, agriculture, and industri). Buku yang kedua membahas berbagai bentuk transaksi/kerja sama usaha dalam bisnis, misalnya salam(prepaid order), sharikah(partnership), dan mudharabah. Buku-buku yang ditulis Muhammad bin al-hasan ini mengandung tinjauan normative sekaligus positif, sebagaimana karya kebanyakan sarjana muslim.

d.      Abu Ubayd Al-Qasim ibnu Sallam (w. 224H/838M)
Buku yang berjudul Al-amwal ditulis oleh abu ubayd al-qasim ibn sallam merupakan suatu buku yang membahas keuangan public/kebijakan fiscal secara koperehensif. Di dalamnya dibahassecara mendalam tentang hak dan kuwajiban Negara, pengumpulan dan penyaluran zakat, khums, kharaj, fay, dan berbagai sumber penerimaan Negara lainnya.

e.       Harith bin Asad Al-Muhasabi (w. 243H/859M)
Harith bin asad al-muhasabi menulis bukunberjudul al-makasib yang membahas cara-cara memperoleh pendapat sebagai mata pencaharian melalui perdagangan, industry dan kegiatan ekonomi produktif lainnya.

f.        Ibnu Miskwaih (w. 421 H/1030M)
Ibnu miskwaih dalam bukunya, Tahlidib al-akhlaq, banyak berperan dapatan dalam tataran filosof etis dalam upaya untuk mensintesiskan pandangan-pandangan aritotalaes dengan ajaran islam.

g.      Mawardi (w. 450 H/1050M)
Pemikiran mawardi tentang ekonomi terutama dalam bukunya yang berjudul, al-ahkam al-sulthoniyyah dan al-din wa’I dunya. Buku yang pertama banyak membahas tentang pemerintah dan adiminstrasi, berisi tentang; kuwajiban pemerintah, penerimaan dan pengeluaran Negara, tanah(Negara dan masyarakat), hak progresif Negara untuk menghibahkan tanah, kuwajiban Negara untuk mengawasi pasar, dan lain-lain. Buku yang kedua banyak yang membahs prilaku ekonomi muslim secara individual.

2.      Periode Kedua (450-850H/1058-1446M)
Pemikiran ekonomi pada masa ini banyak dilatarbelakangi oleh menjamurnya korupsi dan dekadensi moral, serta melebarnya kesenjangan antara golongan miskin dan kaya, meskipun secara umum kondisi perekonomian masyarakat islam berada dalam staf kemakmuran. Terdapat pemikiran-pemikiran besar yang karyanya banyak di jadikan rujukan hingga kini misalnya: Al-Ghazali, Nasirudin Tutsi, ibn Tamiyah, ibn Kaldun, Al-Maghirizi, abu ishaq al-syatibi, abdul khadir jailani, ibnu qayim, ibn baja, ibn tufay, ibn rusyd, dan masih banyak lagi. Para pemikir ini memang berkarya dalam berbagai bidang ilmu yang luas, tetapi ide-ide ekonominya sangat cemerlang dan berwawasan kedepan. Berikut ini pokok pemikiran mereka:[2]

a)      Al-Ghazali (451-505H/1055-1111M)
Al-ghazali dikenal memiliki pemikiran yang luas dalam berbagai bidang. Bahasannya tentang ekonomi dapat di temukan dalam karyanya menumental ihya’ umum al-din, disamping dalam ushul al-fiqh, al-mustafa, mizan al-amal dan al-tibr al-masbuk fi nasihat al-muluk. Bahasan ekonomi al-ghazali mencakup aspek luas secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi; pertukaran dan evolusi pasar, produksi, barter dan evolusi uang, serta peranan Negara dan keuangan publik (ghazafer:2004)

b)      Ibn Tamiyah (661-728H/1263-1328M)
Ibnu tamiyah adalah seorang fugaha’ yang mempunyai karya pemikiran dalam berbagai bidang ilmu yang luas, termasuk dalam bidang ekonomi. Dalam bukunya al-hisbah fi’I islam dan al-siyasah al-shar’iyah fi islam al ra’I wa’I ra’iyah ia banyak membahas problem ekonomi yang dihadapi saat itu, baik dalam tinjauan social maupun hokum islam. Meskipun demikian, karyanya banyak mengandung ide yang berpandangan kedepan, sebagaimana kemudian banak dikaji oleh ekonom barat, karyanya juga mencakup konsep mikro ekonomi.

c)      Ibn Khaldun (732-808H/1332-1404M)
Ibnu khaldun barangkali merupakan ekonom muslim yang besar, karena sedemikian cemerlang dan luas bahasannya tentang ekonomi. Ia menulis banyak buku, antaranya: mugadimah, syarh al-burdah, sejumlah ringkasan atas buku-buku karya ibnu rusyid, sebelum catatan atas buku mantiq, ringkasan (muktasar) kitab al-mahsul karya fakhr al-din al-razi(ushul fiqih), sebuah buku tantang matematika, dan sebuah buku sejarah yang terkenal, al-ibar wa diwan al-mubtada’ wa’ al-khabar fi tarikh al-arab wa al-ajam wa al-barbar dalam bukunya muqadimah ibn khaldun memberikan bahasan yang lias terhadap teori nilai, pembagian kerja, dan perdagangan international, hokum permintaan dan penawaran, konsumsi, produksi,uang, siklus perdagangan keuangan public, dan beberapa bahasan makro ekonomi lainnya. Secara umum ibnu khaldun menekankan pentingnya suatu system pasar yang bebas.

d)      Nasirudin Tusi (w. 485 H/1093M)
Nasirudin tusi adalah ilmuan muslim berpengetahuan lengkap ia dikenal sebagai ahli dalam bidang astronomi, astrologi, matematika, dan tentu saja dibidang social. Karyanya dalam bidang ekonomi terutama ditemukan dalam kitabnya yang berjudul ahlaqe-nasiri(nasirin ethics).

3.      Periode Kitiga (1114-1176H/1703-1762M)
Dalam periode ketiga ini kejayaan pemikiran, dan juga dalam bidang lainnya, dari umat islam sebenernya telahmengalami penurunan. Namun demikian, terdapat beberapa pemikiran ekonomi yang berbobot selama ratusan tahun terahir, sebagaimana tampak karya dari: shah waliullah, Muhammad bin abdul wahab, jamalidin al-afgani, Muhammad abduh, ibn najaym, ibnu abiding, ahmad sirhindi, dan Muhammad igbal.[3]

a.       Shah Waliullah(1114-1176H/1703-1762M)
Pemikiran ekonomi shah waliullah dapat ditemukan dalam karyanya yang terkenal berjudul, hujjatullah al-balgha, dimana ia banyak menjelaskan rasionalitas dari aturan-aturan syariat bagi perilaku manusia dan pembangunan. Shah waliullah menekankan perlunya pembagian faktor-faktor ekonomi yang bersifat alamiah secara lebih merata, misalnya tanah. Ia menyatakan, “sesungguhnya, semua tanah sebagai mana masjid atau tempat-tempat peristirahatan dibarikan kepada wayfares. benda-benda tersebut dibagi berdasarkan prinsip siapa yang pertama datang dapat memanfaatkannya. Kepemilikannya terhadap tanah akan berarti hanya jika orang lebih dapat memanfaatkanya daripada orang lain.’
Berdasarkan pengamatannya terhadap perekonomian dikekaisaran Mughal india, waliullah mengumumkan dua factor utama yang menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi. Dua factor tersebut yaitu: prtama, keuangan Negara dibebani dengan berbagai pengeluaran yang tidak produktif; kedua,pajak yang dibebankan kepada pelaku ekonomi terlalu berat sehingga menurunkan semangat berekonomi. Menurutnya, perekonomian dapat tumbuh jika terdapat tingkat pajak yang ringan yang didukung oleh administrasi yang efesien.

b.      Muhammad iqbal (1289-1356H/)
Meskipun didunia luas lebih dikenal sebagai filosof, sastrswan atau juga pemikiran politik, Muhammad iqbal sebenernya juga memeiliki pemikiran-pemikiran ekonomi yang berlian. Pemikirannya memang tidak berkisar tentang hal-hal teknis ekonomi, tetapi lebih kepada konsep-konsep umum yang mendasar. Dalam karyanya,  puisi dari timur ia ia mnunjukkan tanggapan islam terhadap kapitalisme barat dan reaksi extrim dari komunisme.

4.      Periode Kontenporer (1930-sekarang)
Era tahun 1930-an merupakan masa kebangkitan kembali intelek-kualitas didunia islam. Kemerdekaan Negara-negara muslim dari kolonialisme barat turut mendorong semangat para sarjanan muslim dalam mengembangkan pemikirannya.[4]
Zarqa (1980) membagi topic-topik kajian dari para ekonom dimasa ini menjadi tiga kelompok tema, yaitu:
a)      Perbandingan sistim ekonomi islam dalam sistim ekonomi lainnya, khususnya kapitalisme dan sosialisme;
b)      Kritik terhadap system-sistem ekonomi konvensional, baik dalam tataran filosofis maupun praktikal;
c)      Pembahasan yang mendalam tentang ekonomi islam itu sendiri, baik secara mikro maupun makro.



[1] P3EI ekonomi islam. Rajawali pers. yokyakarta.2008 hal;105
[2] ibid.hal;109
[3]ibid.hal;115
[4] Ibid.hal;116