A. Etika dan Moral
Etika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ilmu tentang apa
yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Secara
etimologis etika berasal dari bahawa Yunani kuno “Ethos” yang berarti
kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap.
Menurut Suhrawardi K. Lubis menyatakan bahwa dalam bahasa agama
islam, istilah etika ini merupakan bagian dari akhlak. Dikatakan merupakan
bagian dari akhlak, karena akhlak bukanlah sekedar menyangkut perilaku manusia
yang bersifat perbuatan yang lahiriyah saja, akan tetapi mencakup hal-hal yang
lebih luas, yitu meliputi bidang akidah, ibadah dan syari’ah.
Etika adalah sebuah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai
dan norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya. Etika menurut
Magnis Suseno adalah sebuah ilmu dan buku sebuah ajaran. Etika adalah
perwujudan dan pengejawantahan secara kritis dan rasional ajaran moral yang
siap pakai itu.
Dari beberapa pengertian di atas dapat diambil sebuah kesimpulan
bahwa etika adalah akhlak atau kebiasaan yang menurut manusianya itu sendiri
masih dalam koridor atau jalan yang benar. Atau etika adalah yang muncul secara
alamiah yang timbul dari diri sendiri bukan dibuat-buat sebagai nilai dari
manusia tersebut yang menentukan karakter seperti apa yang ia miliki.
1.
Tanggung Jawab Profesi Hukum
Tanggung jawab menurut kamus umum Bahasa
indonesia adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Berkewajiban
menanggung,memikul tanggung jawab, menanggung segala sesuatunya atau memberikan
jawab dan menanggung akibatnya
Tanggung jawab dalam pengertian kamus diterjemahkan dengan kata “responsibility: having the caracter of a
free moral agent; capable of determining one’s own acts; capable of deterred by
consideration of sanction or consequences”.
Definisi ini memberikan pengertian yang dititikberatkan pada:
a.
Harus ada
kesanggupan untuk menetapkan sikap terhadap suatu perbuatan
b.
Harus ada
kesanggupan untuk memikul risiko dari suatu perbuatan.
Bila pengertian itu dianalisis lebih luas, akan kita dapati bahwa
dalam kata having the caracter itu
dituntut sebagai suatu keharusan, akan adanya suatu pertanggungan
moral/karakter.
Tanggung jawab profesi hukum itu sendiri diartikan dalam
menjalankan tugasnya, profesional hukum wajib bertanggung jawab, artinya:
(1)
Kesediaan
melakukan dengan sebaik mungkin tugas apa saja yang termasuk lingkup
profesinya.
(2)
Bertindak
secara profesional, tanpa membedakan perkara bayaran dan perkara cuma-cuma
(prodeo).
Tanggung jawab sebagai kesadaran manusia
akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun tidak disengaja.
Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan
kewajibannya.
2.
Pengertian Profesi Hukum
(a)
Profesi
Profesi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pekerjaan yang
dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejujuran, dan sebagainya)
tertentu. Profesi merupakan suatu konsep yang lebih spesifik diabndingkan denga
pekerjaan. Dengan kata lain, pekerjaan memiliki konotasi yang lebih luas
daripada profesi, suatu profesi adalah pekerjaan, teta[i tidak semua pekerjaan
merupakan profesi.
Sementara itu Darji Darmodiharjo dan Sidharta mengemukakan
bahwa profesi adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan dan memiliki serta
memenuhi sedikitnya 5 (lima) persyaratan sebagai berikut :
a.
Memiliki landasan
intelektualitas,
b.
Memiliki standar kualifikasi,
c.
Pengabdian pada masyarakat,
d.
Mendapat penghargaan di tengah masyarakat,
e.
Memiliki organisasi profesi
Sebagai pegangan dapat diutaraan pendapat yang dikemukakan oleh Dr
J. Spillane SJ dalam Nilai-nilai Etis dan Kekuasaan Utopis. Suatu profesi dapat didefinisikan
secara singkat sebagai jabatan seseorang kalau profesi tersebut tidak bersifat
komersial, mekanis pertanian dan sebagainnya. Secara tradisonal ada empat
profesi; kedokteran, hukum, pendidikan dan kependetaan.
Oleh karena itu profesi menurut penulis diartikan sebagai pekerjaan
dengan keahlian khusus sebagai mata pencaharian yang karena sifatnya menuntut
pengetahuan yang tinggi, khusus dan latihan.
(b)
Profesi Hukum
Profesi hukum merupakan salah satu dari sekian profesi yang ada,
misalnya profesi dokter, profesi akuntan, profesi teknik dan lain-lain. Profesi
hukum sangat bersentuhan langsung denga kepentingan manusia atau orang yang
lazim disebut “klien”. Profesi hukum adalah suatu istilah yang kompleks. disebut
demikian karena kata "hukum" yang melekat padanya memang bermakna
kompleks, multidimensional yang multifaset.
Setiap profesi hukum dalam menjalankan tugasnya masing-masing harus
senantiasa menyadari, bahwa dalam proses pemberian Pengayoman hukum, mereka harus
saling isi-mengisi demi tegaknya hukum, keadilan dan kebenaran yang sesuai
dengan jiwa Negara kita yang bersifat integralistik dan kekeluargaan.
Biasanya asosiasi yang bersifat profesional adalah merupakan
organisasi yang bukan bertujuan untuk mendapak mendapatkan untung yang bersifat
materi (laba) akan tetapi berdasarkan kepada prinsip kerjasama dan
kesukarelaan. Dari uraian di atas dapatlah dikemukaan bahwa yang dimaksut
dengan profesi hukum tersebut adalah segala pekerjaan yang dikaitkan dengan masalah
hukum.
3.
Nilai Moral
Profesi Hukum
Profesi hukum merupakan satu profesi yang menuntut pemenuhan nilai
moral dan pengembangannya. Nilai moral itu merupakan keuatan yang mengarah dan
mendasari perbuatan luhur.setiap profesional dituntut supaya memiliki nilai
moral yang kua. Franz Magnis Susen mengeukanan lima kriteria nilai moral yang
mendasari keperibadian profesional hukum, diantaranya adalah:
a). Kejujuran
Kejujuran adalah dasar utama. Tanpa kejujuran maka profesional
hukum mengingkari misi profesinya, sehingga dia menjadi mnafik, licik, penuh
tipu diri. Sikap yang terdapat dalam kejujuran yaitu:
(a)
Sikap terbuka,
berekenaan dengan pelayanan klien, kerelaan atau keikhlasan melayani atau
secara Cuma-Cuma.
(b)
Sikap wajar,
ini berkenaan dengan perbuatan yang tidak berlebihan tidak otoriter, tidak sok
kuasa, tidak kasar, tidak menindas, tidak memeras.
b). Autentik
Autentik artinya menghayati dan menunjukan diri sesuai dengan
keasliannya, kepribadian yang sebenarnya. Autentik pribadi profesional hukum
diantaranya:
(a)
Tidak
menyalahgunakan wewenang.
(b)
Tidak melakukan
perbuatan yang merendahkan martabat.
(c)
Mendahulukan
kepentingan klien
(d)
Berani
berinisiatif dan berbuat sendiri dengan bijaksana, tidak semata-mata menunggu
atasan
(e)
Tidak
mengisolasi diri dari pergaulan sosial.
c). Bertanggung
Jawab
Dalam menjalankan tugasnya, profesional hukum wajib bertanggung
jawab artinya:
(a)
kesediaan
melakukan dengan sebaik mungkin tugas apa saja yang termasuk lingkup profesinya
;
(b)
bertindak
secara proporsional, tanpa membedakan perkara bayaran dan perkara cuma-cuma
(prodeo)
(c)
kesediaan memberikan
laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan kewajibannya.
d). Kemandirian
Moral
Kemandirian moral artinya tidak mudah terpengaruh atau tidak mudah
mengikuti pandangan moral yang terjadi di sekitarnya, melainkan memebetuk
penilaian dan mempunyai pendirian sendiri. mandiri secara moral berarti tidak
dapat dibeli oleh pendapat mayoritas, tidak terpengaruhi oleh pertimbangan
untung rugi (pamrih), penyesuaian diri dengan nilai kesusilaan dan agama.
e). Keberanian Moral
Keberanian moral adalah kesetiaan terhadap suara hati nurani yang
menyatakan kesediaan untuk menanggung resiko konflik. Keberanian tersebut
antara lain :
(a)
menolak segala
bentuk korupsi, kolusi suap, pungli
(b)
menolak segala
bentuk cara penyelesaian melalui jalan belakang yang tidak sah.
4.
Etika Profesi Hukum
Kehidupan manusia dalam melakukan interaksi sosialnya selalau akan
berpatokan pada norma atau tatanan hukum yang berada dalam masyarakat tersebut.
Menakala manusia melakukan interaksinya, tidak berjalan dalam kerangka norma
atau tatanan yang ada, maka akan terjadi bias dalam proses interaksi itu. Sebab
tidak bisa dipungkiri bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk menyimpang
dari norma atau tatanan yang ada, karena terpengaruh oleh adanya hawa nafsu
yang tidak terkendali.
Hal yang sama juga akan berlaku bagi yang namanya profesi,
khususnya profesi hukum. Berjalan tidaknya penegakkan hukum dalam suatu
masyarakat tergantung pada baik buruknya profesional hukum yang menjalani
profesinya tersebut. Untuk menghindari jangan sampai terjadi penyimpangan
terhadap menjalankan profesi, khususnya profesi hukum, dibentuklah suatu norma
yang wajib dipatuhi oleh orang yang tergabung dalam sebuah profesi yang lazim
disebut “Etika Profesi”. Dengan harapan bahwa para profesional tersebut tunduk
dan patuh terhadap kode etik profesinya.
Menurut Notohamidjojo dalam menjalankan kewajibannya, profesional
hukum perlu memiliki:
a)
Sikap
manusiawi, artinya tidak menanggapi hukum secara formal belaka, melainkan
kebenaran yang sesuai dengan hati nurani.
b)
Sikap adil,
artinya mencari kelayakan yang sesuai dengan perasaan masyarakat.
c)
Sikap patut,
artinya mencari pertimbangan untuk menentukan keadilan dalam suatu perkara
kongkret.
d)
Sikap jujur,
artinya menyatakan sesuai itu benar menurut apa adanya dan menjauhi yang tidak
benar dan tidak patut.
5.
Hubungan Etika dan Profesi Hukum
Etika dimasukkan dalam disiplin pendidikan hukum disebabkan
belakangan ini terlihat adanya gejala penurunan etika dikalangan aparat penegak
hukum, yang mana hal itu tentunya akan merugikan bagi pembangunan masyarakat di
Indonesia.[1]
Di sisi lain, seorang profesional hukum harus memiliki pengetahuan
bidang hukum yang andal, sebagai penentu bobot kualitas pelayanan hukum secara
profesional kepada masyarakat. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 Keputusan
Mendikbud No 17/Kep/O/1992 tentang Kurikulum Nasional Bidang Hukum, program
sarjana bidang hukum bertujuan untuk menghasilkan sarjana hukum yang:
1)
Menguasai hukum
indonesia
2)
Mampu
menganalisis masalah hukum dalam masyarakat
3)
Mampu
menggunakan hukum sebagai sarana untuk memecahkan masalah kongkret dan tetap
berdasarkan prinsip-prinsip hukum
4)
Menguasai
dasar-dasar ilmiah untuk mengembangkan ilmu hukum dan hukum
5)
Mengenal dan
peka akan masalah-masalah keadilan dan masalah-masalah kemasyarakatan.
Dengan adanya pelajaran etika profesi hukum ini diharapkan lahirlah
nantinya sarjana-sarjana hukum yang profesional dan beretika. Pengembangan
profesi hukum haruslah memiliki keahlian yang berkeilmuan, khususnya dalam
bidang itu. Oleh karena itu setiap profesional harus secara mandiri mampu
memenuhi kebutuhan warga masyarakat yang memerlukan pelayanan dalam bidang
hukum. Untuk itu tentunya memerlukan keahlian yang berkeilmuan.
Etika profesi adalah sebagai sikap hidup, yang mana berupa
kesediaan untuk memberikan pelayanan profesional di bidang hukum terhadap
masyarakat dengan keterlibatan penuh dan keahlian sebagai pelayanan dalam
rangka melaksanakan tugas berupa kewajiban terhadap masyarakat yang membutuhkan
pelayanan hukum.
Dari uraian di atas hubungan antara etika dan profesi hukum sangat
erat, sebab dengan etika inilah para profesional hukum dapat melaksanakan tugas
(pengabdian) profesinya dengan baik untuk menciptakan penghormatan terhadap
martabat menusia yang pada akhirnya akan melahirkan keadilan di tengah-tengah
masyarakat.
B.
Kede Etik
Profesi Hukum
1.
UU Jabatan
Notaris dan Kode Etik Notaris
Lembaga
Notaris di Indonesia berasal dari zaman Belanda. Karena peraturan jabatan
Notaris Indonesia berasall dari Notaris Reglement (stbl 1660-3). Bahka
tahun sebelumnya yakni tahun 1620, Gubernur Jenderal Jan Pieterzoen Coen
mengangkat notarium publicum. Notaris pertama di Hindia Belanda adalah
Melchior Kerchem dan tugasnya adalah melayani semua surat, surat wasiat dibawah
tangan (codicil), persiapan penerangan, akta kontrak perdagangan,
perjanjian kawin, surat wasiat (testamen)
Notaris
sebagai pejabat umum merupakan sebuah profesi hukum yang memiliki posisi yang
sangat strategis dalam pembangunan bangsa Indonesia. Oleh karena itu untuk dapat
diangkat menjadi notaris, maka harus memenuhi persyaratan tertentu. Hal ini
sesuai dengan ketentuan pasal 3 UU no. 30 tahun 2004. Dinyatakan bahwa syarat
untuk dapat diangkat sebagai notaries sebagaimana dimaksud pada pasal 3 adalah.
a.
Warga Negara Indonesia
b.
Bertakwa kepada
Tuhan yang maha esa
c.
Berumur paling
sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun
d.
Sehat jasmani
dan rohani
e.
Berijazah
sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan.
f.
Telah menjalani
masa magang atau bekerja sebagai karyawan notaris dalam waktu 12 (dua belas
bulan) berturut-turut atas rekomendasi sendiri atau rekomendasi organisasi
notaries.
g.
Tidak berstatus
sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku
jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan
notaris.
Sehubungan dengan ketentuan dalam pasal 7 UU no. 30 tahun 2004,
maka notaris sebagai pejabat umum atau organisasi profesi dalam menjalankan
tugasnya dapat berhenti atau diberhentikan karena alasan-alasan tertentu,
diantaranya:
a.
Meninggal dunia
b.
Telah berumur
65 (enam puluh lima) tahun
c.
Permintaan
sendiri
d.
Tidak mampu
secara rohani dan/atau jasmani untuk melaksanakan tugas jabatan notaris secara
terus menerus lebih dari 3 (tiga) tahun, atau
e.
Merangkapa
jabatan sebagaimana dimasud pada pasal 3 huruf g
Notaris sebagai pejabat umum diberikan oleh peraturan perundang
undangan kewenangan untuk membuat segala perjanjian dan akta serta yang
dikehendaki oleh yang berkepentingan
Notaris selaku pejabat pembuat akta autentik dalam tugasnya melekat
pula kewajiban yang harus dipatuhi, karena kewajiban tersebut merupakan sesuatu
yang harus dilaksanakan. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 16 ayat (1) UU
no. 30 tahun 2004 dinyatakan bahwa dalam menjalankan jabatannya, notaris
berkewajiban bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga
kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum.
Sejalan dengan ketentuan dalam pasal 16 ayat (!) huruf b khusus
mengatur akta minuta, maka akta minuta tersebut dapat dibatalkan. Karena
notaries membuat akta originali. Adapun akta originalitersebut adalah akta:
pembayaran uang sewa, bungan, dan pensiunan; penawaran pembayaran tunai; protes
terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga; akta kuasa;
keterangan kepemilikan;atau akta lainnya berdasarkan peraturan perundang
undangan.
Berkaitan dengan ketentuan pasal 16 UU no. 30 tahun 2004, maka
notaris dalam menjalankan profesinya, selain memiliki kewajiban yang harus
dipatuhinya, juga memiliki larangan-larangan yang harus dihindari dalam
menjalankan tugasnya. Salah satunya yaitu menjalankan jabatan di luar
jabatannya.
Notaris dalam menjalankan tugas dan fungsinya harus mempunyai
wilayah kerja sebagai tempat kedudukan. Tempat kedudukan notaris ini terbatas
pada wilayah kabupaten/kota. Dalam kaitannya denga tempat kedudukan notaris,
maka keberadaan notaries harus disesuaikan pula dengan kondisi wilayah yang ada
di tempat kedudukannya.. Oleh karena itu, untuk mencukupi jumlah notaries di
suatu tempat, maka tetap mengacu pada, misalnya jumlah penduduk yang ada pada
wilayah kabupaten/kota Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam pasal
22 UU no. 30 tahun 2004 dinyatakan bahwa formasi jabatan notaris ditetapkan
berdasarkan: kegiatan dunia usaha; jumlah penduduk; dan/atau rata-rata jumlah
akta yang dibuat oleh dan/atau di hadapan notaries setiap bulan.
Berkaitan dengan ketentuan dalam pasal 22, maka untuk mencari
suasaa yang lebih baik, UU no. 30 tahun 2004 ini memberikan kesempatan kepada
notaris untuk pindah tempat wilayah kerja.
Notaris sebagai pejabat pembuat akta autentik dalam menalankan
tugasnya memerlukan waktu untuk istirahat dari menjalankan tugasnya tersebut.
UU no. 30 tahun 2004 memberikan hak cuti kepada notaris. Ak cuti dapat diambl
setelah notaris menjalankan jabatan selama 2 (dua) tahun. Oleh karena itu, selama
menjalankan cuti, notaris wajib menunjuk seorang notaris pengganti Hak cuti
dapat diambil setiap tahun atau sekaligus untuk beberapa tahun, dan setiap
pengambilan cuti paling lama 5 (lima) tahun sudah termasuk perpanjangannya.
Dengan demikian selama masa jabatan notaris, jumlah waktu cuti keseluruhan
paling lama 12 (dua belas) tahun.
Notaris sebagai pejabat pembuat akta autentik sekaligus bertindak
sebagai organisasi profesi yang secara fungsional medapatkan dana dari
pemberian jasa layanan hukum. Oleh karena itu, notaris selaku organisasi emberi
jasa layanan hukum berhak menrima honorarium dari adanya pemberian jasa
tersebut. Sementara itu, khusus untuk honorarium yang bersifat sosiologis
ditentukan berdasarkan fungsi sosial dari setiap objek setiap akta dengan
honorarium yang diterima paling besar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah).
Tugas atau tanggung jawab notaris adalah membuat akta autentik,
baik yang ditentukan peraturan perundang undangan maupun oleh keinginan orang
tertentu dari badan hukum yang memerlukannya oleh karena itu, akta autentik
yang dibuat oleh notaris diatur dalam pasal 38 UU no. 30 tahun 2004. Notaris
sebagai sebuah organisasi profesi dalam menjalan tugas dan tanggung jawabnya
tetap wajib bergabung dalam sebuah wadah induk organisasi notaris tersebut.
Kebutuhan organisasi notaris ini diperuntukkan untuk menjalin hubungan
emosional diantara para anggota notaris tersebut. Selain itu, organisasi ini
akan mengeluarka kode etik yang dijadikan pedoman dalam menjalankan tugasnya
Notaris merupakan suatu pekerjaan yang memeiliki keahlian khusus yang
menuntut pengetahuan luas serta tanggung jawab yang berat untuk mlayani
kepenetingan umum dan inti tugas notaris adalah mengatur secara tertulis dan
autentik hubungan-hubungan hukum antara para pihak yang secara mufakat meinta
jasa notaris. Dalam menjalankan tugasnya seorang notaris harus berpegang teguh
pada kode etik jabatan notaris.
2.
Advokat
a.
Pengertian
Advokat atau Penasehat Hukum adalah seseorang atau mereka yang
melakukan pekerjaan jasa bantuan hukum termasuk konsultan hukum yang
menjalankan pekerjaannya baik dilakukan di luar pengadilan dan atau di dalam
pengadilan bagi klien sebagai mata pencahariannya. Kehormatan, keberanian,
komitmen, integritas, dan profesional adalah merupakan dasar bagi seorang
advokat. Sudah sejak dahulu profesi advokat dianggap sebagai profesi mulia atau
lebih di kenal dengan istilah nobile officium. Oleh karena itu seorang advokat
dalm bersikap haruslah menghormati hukum dan keadilan, sesuai dengan kedudukan
seorang advokat sebagai the officer of the court.
Akan tetapi dalam kenyataannya advokat merupakan profesi yang sangat di benci oleh masyarakat. Hal ini terjadi karena
advokat itu sendiri yang telah membuat profesinya itu menjadi dibenci oleh
masyarakat.
Pada masa sekarang ini tidak bisa dipungkiri lagi profesi advokat
hanya lebih mementingkan materi dari pada kebenaran dan keadialanyang
ditegakkan. Dalam suatu penelitiaan menyimpulkan bahwa semakin besar rasio
antara jumlah advokat dan jumlah penduduk maka semakin rendah tingkat
pertumbuhan ekonomi. Sejarah telah membuktikan bahawa hukum dan advokat menjadi
unsur terpenting bagi suatu tatanan masyarakat, di belahan dunia manapun
masyarakat tersebut berada. Sudah merupakan suatu keharusan bagi seorang
advokat memiliki kode etik dalam menjalankan tugasnya. Kode etik profesi ini
bertujuan agar ada pedoman moral bagi seorang advokat dalam bertindak menjalankan
tugasnya. Etika bagi seorang advokat terdapat dalam UU Advokat No.18 tahun 2003
dan juga terdapat dalam Kode Etik Advokat Indonesia.
b.
Kepribadian
Advokat/Penasehat Hukum
Advokat/Penasehat Hukum adalah warganegara Indonesia yang bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan
keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia demi
tegaknya hukum, setia kepada falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
1.
Advokat/Penasehat
Hukum dalam melakukan pekerjaannya wajib untuk selalu menjunjung tinggi hukum,
kebenaran dan keadilan.
2.
Advokat/Penasehat
Hukum harus bersedia memberi nasehat dan bantuan hukum kepada setiap orang yang
memerlukannya tanpa membeda-bedakan kepercayaan, agama, suku, jenis kelamin,
keturunan, kedudukan sosial dan keyakinan politiknya.
3.
Advokat/Penasehat
Hukum dalam melakukan perkerjaannya tidak semata-mata mencari imbalan materiil,
tetapi diutamakan bertujuan untuk menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran
dengan cara yang jujur dan bertanggung jawab.
4.
Advokat/Penasehat
Hukum dalam melakukan pekerjaannya bekerja dengan bebas dan mendiri tanpa
pengaruh atau dipengaruhi oleh siapapun.
5.
Advokat/Penasehat
Hukum wajib memperjuangkan serta melindungi hak-hak azasi manusia dan kelestarian
lingkungan hidup dalam Negara Hukum Republik Indonesia.
6.
Advokat/Penasehat
Hukum wajib memiliki sikap setia kawan dalam memegang teguh rasa solidaritas
antara sesama sejawat.
7.
Advokat/Penasehat
Hukum wajib memberikan bantuan pembelaan hukum kepada sejawat Advokat/Penasehat
Hukum yang disangka atau didakwa dalam suatu perkara pidana oleh yang berwajib,
secara sukarela baik secara pribadi maupun atas penunjukkan/permintaan
organisasi profesi.
8.
Advokat/Penasehat
Hukum tidak dibenarkan melakukan perkerjaan lain yang dapat merugikan
kebebasan, derajat dan martabat Advokat/Penasehat Hukum dan harus senantiasa
menjunjung tinggi profesi Advokat/Penasehat Hukum sebagai profesi terhormat
(officium nobile).
9.
Advokat/Penasehat
Hukum dalam melakukan tugas pekerjaannya harus bersikap sopan santun terhadap
para pejabat hukum, terhadap sesama sejawat Advokat/ Penasehat Hukum dan
terhadap masyarakat, namun ia wajib mempertahankan hak dan martabat
Advokat/Penasehat Hukum di mimbar manapun.
10.
Advokat/Penasehat
Hukum berkewajiban membela kepetingan kliennya tanpa rasa takut akan menghadapi
segala kemungkinan resiko yang tidak diharapkan sebagai konsekwensi profesi
baik resiko atas dirinya atau pun orang lain.
11.
Seorang
Advokat/Penasehat Hukum yang kemudian diangkat untuk menduduki suatu jabatan
Negara (Eksekutif, Legislatif, Judikatif), tidak dibenarkan untuk tetap
dicantumkan/dipergunakan namanya oleh kantor dimana semulanya ia bekerja.
c.
Kewajiban Advokat Kepada Pengadilan
Seorang advokat (counsel) adalah
seorang “pejabat pengadilan” (officer of the court) apabila dia melakukan
tugasnya di pengadilan. Oleh karena itu seorang advokat harus mendukung
kewenangan (authority) pengadilan dan menjaga kewibawaan (dignity) sidang. Untuk
memungkinkan keadaan ini, maka advokat harus patuh pada aturan-aturan sopan
santun (decorum) yang berlaku dalam melaksanakan tugasnya dan menunjukkan sikap
penghargaan profesional (professional respect) kepada hakim, advokat lawan
(atau jaksa/penuntut umum), dan para saksi. Kadang-kadang hal ini tidak mudah,
dua contoh saya ajukan di sini:
(a) Advokat yang baik berkewajiban
untuk protes secara kuat, apabila dia berpendapat bahwa pandangan atau pendapat
(majelis) hakim keliru dalam menerapkan hukum acara (misalnya mengenai
pembuktian atau saksi), namun demikian begitu (majelis) hakim telah memberi
keputusan, maka advokat harus menerimanya. Tentu dia tetap berhak untuk
mempergunakan upaya hukum yang tersedia, misalnya mengajukan banding.
(b) Ada kemungkinan seorang advokat
mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang jauh lebih dibanding (majelis) hakim.
Sehingga sering sukar baginya untuk menahan diri melihat sikap dan putusan
(majelis) hakim yang dianggapnya keliru. Tetapi juga di sini seorang advokat
harus menjaga disiplin dirinya dan menahan diri untuk dapat tetap menjaga sopan
santun sidang. Putusan (majelis) hakim harus ditaati, bagaimanapun dirasakan
keliru dan tidak adil. Cara mengatasinya adalah hanya melalui upaya hukum yang
tersedia.
Apabila seorang advokat tidak dapat
mengendalikan dirinya dalam sidang, maka dia dapat ditegur secara keras oleh
(majelis) hakim. Di negara-negara dengan “common law system” advokat ini dapat
dituduh melakukan “contempt of court” (pelecehan pengadilan). Apakah keadaan
yang diuraikan di atas termasuk dalam ketentuan KEAI, Pasal 3 alinea 8 “ harus
bersikap sopan terhadap semua pihak, namu ?” Kiranya Dewan Kehormatan Advokat
akan menghadapi pertanyaan ini di kemudian hari.
“Contempt of court” di negara-negara
Anglo-Saxon juga dipergunakan terhadap advokat yang mempergunakan media cetak
atau media lainnya untuk memberikan pendapat tentang kasusnya, sebelum ada
putusan berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijzde). Alasannya adalah
bahwa ucapan advokat bersangkutan dapat menganggu jalannya peradilan (interfere
with a fair trial and prejudice the due administration of justice – Canon 20
ABA). Dalam Pasal 8 KEAI alinea 6 memang ada asas (ketentuan) yang tidak
membenarkan advokat mempergunakan media massa untuk mencari publisitas. Tetapi
contoh di atas untuk “contempt of court” adalah berbeda. Kesimpulan saya adalah
bahwa KEAI belum mengatur kemungkinan adanya pelecehan terhadap pengadilan yang
dilakukan seorang advokat dengan memperngaruhi pengadilan melalui media massa
(obstruction of justice).
Dalam hal kewajiban advokat kepada
pengadilan, ABA canon 22 menyatakan bahwa perilaku advokat di muka sidang
pengadilan dan dengan para teman sejawatnya harus bercirikan “keterbukaan”
(candor, frankness) dan “kejujuran” (fairness). Inti dari asas ini adalah
melarang advokat berperilaku curang (mislead, deceive)terhadap (majelis) hakim
dan advokat lawannya. Memang
kewajiban advokat mempunyai dua sisi: dia berkewajiban untuk loyal (setia) pada
kliennya, tetapi juga wajib beritikad baik dan terhormat dalam berhubungan
dengan pengadilan. Yang pertama adalah “the duty of fidelity” kepada kliennya
dan ini belum ada dalam Pasal 4 KEAI tentang “hubungan (advokat) dengan klien”.
Kewajiban kepada pengadilan tersebut di atas adalah “the duty of good faith”
dan “the duty of honorable dealing”. KEAI juga harus menyediakan suatu bab
khusus tentang hubungan advokat dengan pengadilan. Bab baru ini harus berbeda
dengan bab VI KEAI yang mengatur tentang “cara bertindak menangani perkara”.
d.
Kewajiban Advokat Kepada Sejawat Profesi
Bab IV KEAI mengatur asas-asas
tentang hubungan antar teman sejawat advokat. Dalam kehidupan sehari-hari,
khususnya dalam kegiatan menjalankan profesi sebagai suatu usaha, maka
persaingan adalah normal. Namun persaingan (competition) ini harus dilandasi
oleh “sikap saling menghormati, saling menghargai, dan saling mempercayai”
(KEAI Pasal 5 alinea 1). Apalagi dalam persaingan melindungi dan mempertahankan
kepentingan klien, sering antara para advokat, atau advokat dan jaksa/penuntut
umum, terjadi “pertentangan” (contest). Sering pula advokat terbawa oleh
“rasa-marah” (ill-feeling) antar klien mereka. Kejadian terakhir ini harus
dicegah, permusuhan yang mungkin ada di antara klien-klien kedua belah pihak
tidak boleh mempengaruhi para advokat di dalam perilakunya. Suatu ungkapan
mengatan “Do as adversaries do in law: strive mightily, but eat and drink as
friends”.
Alinea 4 dari Pasal 5 KEAI merujuk
lepada penarikan atau perebutan klien. Dalam bahasa ABA ini dinamakan “encroaching”
atau “trespassing”, secara paksa masuk dalam hak orang lain (teman sejawat
advokat). Secara gambalng dikatakan adanya “obligation to refrain from
deliberately stealing each other’s clients”. Bagaimana dalam praktik nanti
Dewan Kehormatan KEAI akan mendefinisikan “stealing of clients” ini? Bagaimana
akan ditafsirkan “menarik atau merebut klien” itu? Kita harus menyadari bahwa
adalah hak klien untuk menentukan siapa yang akan memberinya layanan hukum;
siapa yang akan mewakilinya; atau siapa advokatnya (it is for the client to
decide who shall represent him).
Masalah lain dalam hubungan antar advokat
ini adalah tentang penggantian advokat. Advokat lama berkewajiban untuk
menjelaskan pada klien segala sesuatu yang perlu diketahuinya tentang perkara
bersangkutan. Di sini perlu diperhatikan apa yang diatur dalam Pasal 4 alinea 2
KEAI tentang pemberian keterangan oleh advokat yang dapat menyesatkan kliennya.
Advokat baru sebaiknya menghubungi advokat lama dan mendiskusikan masalah
perkara bersangkutan dan perkembangannya terakhir. Yang perlu diperhatikan
advokat baru adalah, bahwa klien telah benar-benar mencabut kuasanya kepada
advokat lama dan klien juga telah memenuhi kewajibannya pada advokat lama
(lihat alinea 5 dan 6, Pasal 5 KEAI).
Hal yang tidak boleh dilakukan
seorang advokat adalah berkomunikasi atau menegosiasi maslah perkara, langsung
dengan seseorang yang telah mempunyai advokat, tanpa kehadiran advokat orang
ini. Asas ini tercantum dalam Canon 9 ABA. Namun demikian, asas ini tidak
berlaku untuk mewawancarai saksi (-saksi) dari pihak lawan dalam berperkara
(lihat alinea 5 dan 6, Pasal 7 KEAI).
e.
Kewajiban Advokat Kepada Klien
Advokat adalah suatu profesi
terhormat (officium mobile) dan karena itu mendapat kepercayaan penuh dari
klien yang diwakilinya. Hubungan kepercayaan ini terungkap dari kalimat “the
lawyer as a fiduciary” dan adanya “the duty of fidelity” para advokat terhadap
kliennya. Akibat dari hubungan kepercayaan dan kewajiban untuk loyal pada
kliennya ini, maka berlakulah asas tentang kewajiban advokat memegang rahasia
jabatan (lihat Pasal 4 alinea 8 KEAI).
Seorang advokat wajib berusaha
memperoleh pengetahuan yang sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya tentang kasus
kliennya, sebelum memberikan nasihat dan bantuan hukum. Dia wajib memberikan
pendapatnya secara terus terang (candid) tentang untung ruginya (merus) perkara
yang akan dilitigasi dan kemungkinan hasilnya. Dalam canon 8 ABA ini dinamakan
“duty to give candid advice”. Sedang dalam KEAI diperingatkan agar advokat
“tidak memberikan keterangan yang menyesatkan” dan “tidak menjamin kepada
kliennya bahwa perkara yang ditanganinya akan menang” (Pasal 4 alinea 2 dan 3).
Salah satu tugas utama dari seorang
advokat adalah menjaga agar dirinya tidak menerima kasus dari klien yang
menimbulkan “pertentangan atau konflik kepentingan” (conflicting interest).
Terutama dalam kantor hukum yang mempekerjakan sejumlah besar advokat, maka
sebelum menerima sebuah perkara, nama calon klien dan lawan calon klien serta
uraian singkat kasusnya perlu diedarkan kepada para advokat sekantor. Ketentuan
tentang hal ini, yaitu “duty not to represent conflicting interests” belum ada
dalam KEAI. Adapun a.l. alasan perlunya ketentuan seperti ini, adalah asas yang
telah disebut di atas “the lawyer as a fiduciary” dan “the duty of fidelity”.
Kepercayaan klien pada advokat mungkin telah menyebabkan klien memberi
advokatnya informasi konfidensial atau pribadi. Kewajiban untuk loyal kepada
klien berakibat bahwa advokat dilarang (forbids) menerima perkara yang akan
merugikan kepentingan kliennya (forbids the acceptance in matters adversaly
affecting any interest of the client).
Mungkin terjadi keadaan, dimana dua
(atau lebih) klien lama suatu kantor advokat mempunyai kepentingan dalam
perkara yang sama dan kepentingan ini saling bertentangan. Asas pertama yang
harus diperhatikan adalah “tidak mewakili kepentingan yang bertentangan
(conflicting interests), kecuali dengan persetujuan semua pihak yang
berkepentingan (the consent of all concerned)”. Sedangkan asas kedua adalah
bahwa “kecuali semua pihak memberi persetujuan, maka hal ini berarti tidak
boleh mewakili siapapun dari mereka (he may represent no one of them)”.
Pasal 4 alinea 8 KEAI mengatur
tentang kewajiban advokat memegang rahasia jabatan dan “ wajib tetap menjaga
rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antar advokat dan klien”. Pertanyaan
yang mungkin harus dijawab oleh Dewan Kehormatan adalah: (a) apakah ketentuan
ini berlaku juga bila mempertimbangkan pengaduan tentang “conflicting
interests”, dan (b) apakah kewajiban “not to disclose or abuse professional
confidence” tetap berlaku setelah klien meninggal dunia?
Masih dalam konteks “rahasia
jabatan” (professional confidential information), apakah alinea 8 di atas itu
mutlak? Bagaimana dengan informasi bahwa klien akan melakukan kejahatan?
Menurut saya, advokat dalam hal ini dapat memberikan informasi “secukupnya” (as
may be necessary) untuk mencegah terjadinya kejahatan ataupun melindungi calon
korban. Pertanyaan yang lain adalah, bagaimana dengan informasi konfidensial
klien yang mempunyai implikasi terhadap keamanan umum (public safety) atau
keamanan negara (state security)? Di sini asas “menjaga rahasia jabatan” juga
tidaklah mutlak.
Pendapat publik sering keliru
menafsirkan kewajiban advokat menerima klien, Pasal3 alinea 1 KEAI memberi hak
kepada advokat untuk menolak menerima perkara seorang klien, kecuali atas dasar
agama, politik, atau status sosial. Ini dinamakan “the right to decline
employment” (canon 31 ABA). Sedangkan dalam alinea 2, dikatakan bahwa tujuan
advokat menerima perkara klien adalah terutama “tegaknya hukum, kebenaran, dan
keadilan”. Sedangkan dalam Pasal 4 alinea 9 KEAI tidak dibenarkan seorang
advokat melepaskan tugas yang diberikan oleh kliennya pada saat yang tidak
menguntungkan posisi klien. Ketiga ketentuan di atas harus dibaca bersama.
Dalam kasus dimana klien oleh publik telah “dianggap” bersalah, maka berlaku
asas “the right of the lawyer to undertake the defense of the person accused of
crime, regardless of his personal opinion as to the guilt of the accused”
(canon 5 ABA).
Dalam hal kemudian advokat ingin
mengundurkan diri, maka hal itu harus dilakukan dengan “good cause” (alasan
yang wajar). Dikatakan a.l. oleh canon 44 ABA: “the lawyer should non throw up
the unfinished task to the detriment of his client, except for reasons of honor
or self-resfect”. Apa yang dimaksud dengan ini adalah misalnya: klien memaksa
agar advokat melakukan sesuatu yang tidak adil (unjust) atau “immoral” dalam
penanganan kasusnya. Apabila dia akan mengundurkan diri, maka advokat harus
memberikan kepada klien cukup waktu untuk memilih advokat baru.
Sejauh mana seorang advokat boleh
memperjuangkan kepentingan kliennya juga sering disalahtafsirkan oleh publik.
Hal yang sangat merugikan dan merusak kehormatan advokat adalah pendapat yang
sangat keliru: “it is the duty of the lawyer to do what ever may enable him to
succeed in winning his clients cause”. Pendapat yang keliru ini bertentangan
dengan sumpah atau janji advokat dalam Pasal 4 ayat (2) UU Advokat, yang a.l.
mengatakan bahwa dia (advokat) akan bertindak jujur, adil, dan bertanggung
jawab berdasarkan hukum dan keadilan, serta tidak akan memberikan atau
menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan, atau pejabat lainnya agar
memenangkan perkara kliennya.
Asas terakhir di atas, adalah
bagaimana kita harus menafsirkan dan menjalankan profesi advokat seperti yang
diwajibkan oleh asas KEAI, Pasal 3 alinea 7: “Advokat harus senantiasa
menjunjung tinggi profesi Advokat sebagai profesi terhormat (officium mobile)”.
f.
Cara Bertindak Dalam Menangani Perkara
1.
Advokat/Penasehat Hukum bebas mengeluarkan pernyataan-pernyataan
atau pendapatnya yang dikemukakan dalam sidang pengadilan, dalam rangka
pembelaan suatu perkara yang menjadi tanggung jawabnya, baik dalam sidang
terbuka maupun sidang tertutup, yang diajukan secara lisan atau tertulis,
asalkan pernyataan atau pendapat tersebut dikemukakan secara proporsional dan
tidak berlebihan dengan perkara yang ditanganinya.
2.
Advokat/Penasehat Hukum mempunyai kewajiban untuk memberikan
bantuan hukum secara cuma-cuma (prodeo) bagi orang yang tidak mampu, baik dalam
perkara perdata maupun dalam perkara pidana bagi orang yang disangka/didakwa
berbuat pidana baik pada tingkat penyidikan maupun di muka pengadilan, yang
oleh pengadilan diperkenankan beracara secara cuma-cuma.
3.
Surat-surat yang dikirim oleh Advokat/Penasehat Hukum kepada teman
sejawatnya dalam suatu perkara, tidak dibenarkan ditunjukkan kepada Hakim,
kecuali dengan izin pihak yang yang mengirim surat tersebut.
4.
Surat-surat yang dibuat dengan dibubuhi catatan “SANS PREJUDICE “,
sama sekali tidak dibenarkan ditunjukkan kepada Hakim.
5.
Isi pembicaraan atau korespondensi kearah perdamaian antara
Advokat/ Penasehat Hukum akan tetapi tidak berhasil, tidak dibenarkan untuk
digunakan sebagai alasan terhadap lawan dalam perkara di muka pengadilan.
6.
Advokat/Penasehat Hukum tidak dibenarkan menghubungi skasi-saksi
pihak lawan untuk didengar keterangan mereka dalam perkara yang bersangkutan.
7.
Dalam suatu perkara perdata yang sedang berjalan, Advokat/Penasehat
Hukum hanya dapat menghubungi Hakim bersama-sama dengan Advokat/Penasehat Hukum
pihak lawan.
8.
Dalam hal meyampaikan surat hendaknya seketika itu juga dikirim
kepada Advokat/Penasehat Hukum pihak lawan tembusan suratnya.
9.
Dalam suatu perkara pidana yang sedang berjalam di pengadilan,
Advokat/ Penasehat Hukum dapat menghubungi Hakim bersama-sama dengan Jaksa
Penuntut Umum.
10.
Advokat/Penasehat Hukum tidak diperkenankan menambah
catatan-catatan pada berkas di dalam/di luar sidang meskipun hanya bersifat “informandum”,
jika hal itu tidak diberitahukan terlebih dahulu kepada Advokat/Penasehat Hukum
pihak lawan dengan memberikan waktu yang layak, sehingga teman sejawat tersebut
dapat mempelajari dan menanggapi catatan yang bersangkutan.
11.
Surat-surat dari Advokat/Penasehat Hukum lawan yang diterma untuk
dilihat oleh Advokat/Penasehat Hukum, tanpa seizinnya tidak boleh diberikan
surat aslinya/salinannya kepada kliennya atau kepada pihak ke tiga, walaupun
mereka teman sejawat.
12.
Jika diketahui seseorang mempunyai Advokat/Penasehat Hukum sebagai
kuasa hukum lawan dalam suatu perkara tertentu, maka hubungan dengan orang
tersebut mengenai perkara tertentu tersebut hanya dapat dilakukan melalui
Advokat/ Penasehat Hukum yang bersangkutan atau dengan seizinnya.
13.
Jika Advokat/Penasehat Hukum harus berbicara tentang soal lain
dengan klien dari sejawat Advokat/Penasehat Hukum yang sedang dibantu dalam
perkara tertentu, maka ia tidak dibenarkan meyinggung perkara tertentu
tersebut.
14.
Advokat/Penasehat Hukum menyelesaikan keuangan perkara yang
dikerjakannya diselesaikan melalui perantaraan Advokat/Penasehat Hukum pihak
lawan, terutama mengenai pembayaran-pembayaran kepada pihak lawan, terkecuali
setelah adanya pemberitahuan dan persetujuan dari Advokat/Penasehat Hukum pihak
lawan tersebut.
15.
Advokat/Penasehat Hukum yang menerima pembayaran lansung dari pihak
lawan, harus segera melaporkannya kepada Advokat/Penasehat Hukum pihak lawan
tersebut.
3.
Kode Etik Hakim
Setiap Hakim Indonesia mempunyai pegangan tingkah laku yang harus
dipedomaninya:
A.
|
Dalam Persidangan
|
|||
1.
|
Bersikap dan bertindak menurut garis-garis yang ditentukan dalam
Hukum Acara yang berlaku, dengan memperhatikan azas-azas peradilan yang baik,
yaitu :
|
|||
a.
|
Menjunjung tinggi hak seseorang untuk mendapat putusan (right to
a decision) dimana setiap orang berhak untuk inengajukan perkara dan dilarang
menolak untuk mengadilinya kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang serta
putusan harus dijatuhkan dalam waktu yang pantas dan tidak terlalu lama.
|
|||
b.
|
Semua pihak yang berperkara berhak atas kesempatan dan perlakuan
yang sama untuk didengar, diberikan kesempatan untuk membela diri, mengajuan
bukti-bukti serta memperoleh informasi dalam proses pemeriksaan (a fair
hearing).
|
|||
c.
|
Putusan dijatuhkan secara obyektif tanpa dicemari oleh
kepentingan pribadi atau pihak lain (no bias) dengan menjunjung tinggi
prinsip (nemo judex in resud).
|
|||
d.
|
Putusan harus memuat alasan-alasan hukum yang jelas dan dapat
dimengerti serta bersifat konsisten dengan penalaran hukum yang sistematis
(reasones and argumentations of decision), dimana argumentasi tersebut harus
diawasi (controleerbaarheid) dan diikuti serta dapat
dipertanggung-jawabkan(accountability) guna menjamin sifat keterbukaan
(transparancy) dan kepastian hukum (legal certainity) dalam proses peradilan.
|
|||
e.
|
Menjunjung tinggi hak-hak azasi manusia.
|
|||
2.
|
Tidak dibenarkan menunjukkan sikap memihak atau bersimpatiataupun
antipati kepada pihak-pihak yang berperkara, baik dalam ucapan maupun tingkah
laku.
|
|||
3.
|
Harus bersifat sopan,tegas dan bijaksana dalam memimpin sidang,
baik dalam ucapan maupun dalam perbuatan.
|
|||
4.
|
Harus menjaga kewibawaan dan kehidmatan persidangan antara lain
serius dalam memeriksa, tidak melecehkan pihak-pihak baik dengan kata-kata
maupun perbuatan.
|
|||
.
|
5.
|
Bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan.
|
||
.
|
||||
B.
|
Terhadap Sesama Rekan
|
|||
1.
|
Memelihara dan memupuk hubungan kerjasama yang baik antara sesama
rekan.
|
|||
2.
|
Memiliki rasa setia kawan, tanggang rasa. dan saling menghargai
antara sesama rekan.
|
|||
3.
|
Memiliki kesadaran, kesetiaan, penghargaan terhadap Korps Hakim
secara wajar.
|
|||
4.
|
Menjaga nama baik dan martabat rekan, baik di dalam maupun di
luar kedinasan.
|
|||
.
|
||||
C.
|
Terhadap Bawahan/pegawai
|
|||
1.
|
Harus mempunyai sifat kepemimpinan.
|
|||
2.
|
Membimbing bawahan/pegawai untuk mempertinggi pengetahuan.
|
|||
3.
|
Harus mempunyai sikap sebagai seorang Bapak/lbu yang baik.
|
|||
4.
|
Memelihara sikap kekeluargaan terhadap bawahan/ pegawai.
|
|||
5.
|
Memberi contoh kedisiplinan.
|
|||
.
|
||||
D.
|
Terhadap Masyarakat.
|
|||
1.
|
Menghormati dan menghargai orang lain.
|
|||
2.
|
Tidak sombong dan tidak mau menang sendiri.
|
|||
3.
|
Hidup sederhana.
|
|||
.
|
||||
E.
|
Terhadap Keluarga/Rumah Tangga.
|
|||
1.
|
Menjaga keluarga dari perbuatan-perbuatan tercela, menurut
norma-norma hokum kesusilaan.
|
|||
2.
|
Menjaga ketentraman dan keutuhan keluarga.
|
|||
3.
|
Menyesuaikan kehidupan rumah tangga dengan keadaan dan pandangan
masyarakat.
|
|||
.
|
||||
Sumber: Pasal
4 Kode Etik Hakim Indonesia
|
4.
Wewenang dan kode etik Jaksa Penuntut Umum
UU No 8 tahun 1981 tentang KUHP
“Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh UU ini untuk bertindak sebagai
penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekueten hukum tetap.
Penuntut umum Adalah jaksa yang
diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penunuttan dan
melaksanakan penetapan hakim.
Tugas Jaksa:
a.
Sebagai penuntut umum
b.
Pelaksana putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap (eksekutor)
Dalam tugasnya sebagai penuntut umum, jaksa mempunyai tugas:
1.
Melakukan penuntutan;
2.
melaksanakan penetapan hakim Menurut UU No. 5 Tahun 1991
Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejasaan Republik IndonesiaDalam melaksanakan
ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1, kejaksaan mempunyai tugas dalam pasal (2)
yang berbunyi:
3.
mengadakan penuntutan dalam perkara-perkara pidana pada pengadilan
yang berwenang;
b. Menjalankan keputusan dan penetapan hakim pidana
b. Menjalankan keputusan dan penetapan hakim pidana
4.
Mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran
serta mengawasi dan mengkoordinasikan alat-alatr penyidik menurut
ketentuan-ketentuan dalam UU Hukum Acara Pidana dan lain-lain peraturan
5.
Mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan
masyarakat dan negara
6.
Melaksanakan tugas-tugas khusus lain yang diberikan kepadanya oleh
suatu peraturan negara.
sangat menarik....thx
ReplyDeleteSemoga bermanfaat bagi pembaca
ReplyDelete