Monday, February 22, 2016

Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum, di Indonesia



A.  Etika dan Moral
Etika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Secara etimologis etika berasal dari bahawa Yunani kuno “Ethos” yang berarti kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap.
Menurut Suhrawardi K. Lubis menyatakan bahwa dalam bahasa agama islam, istilah etika ini merupakan bagian dari akhlak. Dikatakan merupakan bagian dari akhlak, karena akhlak bukanlah sekedar menyangkut perilaku manusia yang bersifat perbuatan yang lahiriyah saja, akan tetapi mencakup hal-hal yang lebih luas, yitu meliputi bidang akidah, ibadah dan syari’ah.
Etika adalah sebuah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya. Etika menurut Magnis Suseno adalah sebuah ilmu dan buku sebuah ajaran. Etika adalah perwujudan dan pengejawantahan secara kritis dan rasional ajaran moral yang siap pakai itu.
Dari beberapa pengertian di atas dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa etika adalah akhlak atau kebiasaan yang menurut manusianya itu sendiri masih dalam koridor atau jalan yang benar. Atau etika adalah yang muncul secara alamiah yang timbul dari diri sendiri bukan dibuat-buat sebagai nilai dari manusia tersebut yang menentukan karakter seperti apa yang ia miliki.
1.      Tanggung Jawab Profesi Hukum
Tanggung jawab menurut kamus umum Bahasa indonesia adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Berkewajiban menanggung,memikul tanggung jawab, menanggung segala sesuatunya atau memberikan jawab dan menanggung akibatnya
Tanggung jawab dalam pengertian kamus diterjemahkan dengan kata “responsibility: having the caracter of a free moral agent; capable of determining one’s own acts; capable of deterred by consideration of sanction or consequences”.
Definisi ini memberikan pengertian yang dititikberatkan pada:
a.       Harus ada kesanggupan untuk menetapkan sikap terhadap suatu perbuatan
b.      Harus ada kesanggupan untuk memikul risiko dari suatu perbuatan.
Bila pengertian itu dianalisis lebih luas, akan kita dapati bahwa dalam kata having the caracter itu dituntut sebagai suatu keharusan, akan adanya suatu pertanggungan moral/karakter.
Tanggung jawab profesi hukum itu sendiri diartikan dalam menjalankan tugasnya, profesional hukum wajib bertanggung jawab, artinya:
(1)   Kesediaan melakukan dengan sebaik mungkin tugas apa saja yang termasuk lingkup profesinya.
(2)   Bertindak secara profesional, tanpa membedakan perkara bayaran dan perkara cuma-cuma (prodeo).
Tanggung jawab sebagai kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun tidak disengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya.
2.      Pengertian Profesi Hukum
(a)   Profesi
Profesi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejujuran, dan sebagainya) tertentu. Profesi merupakan suatu konsep yang lebih spesifik diabndingkan denga pekerjaan. Dengan kata lain, pekerjaan memiliki konotasi yang lebih luas daripada profesi, suatu profesi adalah pekerjaan, teta[i tidak semua pekerjaan merupakan profesi.
Sementara itu Darji Darmodiharjo dan Sidharta mengemukakan bahwa profesi adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan dan memiliki serta memenuhi sedikitnya 5 (lima) persyaratan sebagai berikut :
a.       Memiliki landasan intelektualitas,
b.      Memiliki standar kualifikasi,
c.       Pengabdian pada masyarakat,
d.       Mendapat penghargaan di tengah masyarakat,
e.        Memiliki organisasi profesi
Sebagai pegangan dapat diutaraan pendapat yang dikemukakan oleh Dr J. Spillane SJ dalam Nilai-nilai Etis dan Kekuasaan  Utopis. Suatu profesi dapat didefinisikan secara singkat sebagai jabatan seseorang kalau profesi tersebut tidak bersifat komersial, mekanis pertanian dan sebagainnya. Secara tradisonal ada empat profesi; kedokteran, hukum, pendidikan dan kependetaan.
Oleh karena itu profesi menurut penulis diartikan sebagai pekerjaan dengan keahlian khusus sebagai mata pencaharian yang karena sifatnya menuntut pengetahuan yang tinggi, khusus dan latihan.
(b)   Profesi Hukum
Profesi hukum merupakan salah satu dari sekian profesi yang ada, misalnya profesi dokter, profesi akuntan, profesi teknik dan lain-lain. Profesi hukum sangat bersentuhan langsung denga kepentingan manusia atau orang yang lazim disebut “klien”. Profesi hukum adalah suatu istilah yang kompleks. disebut demikian karena kata "hukum" yang melekat padanya memang bermakna kompleks, multidimensional yang multifaset.
Setiap profesi hukum dalam menjalankan tugasnya masing-masing harus senantiasa menyadari, bahwa dalam proses pemberian Pengayoman hukum, mereka harus saling isi-mengisi demi tegaknya hukum, keadilan dan kebenaran yang sesuai dengan jiwa Negara kita yang bersifat integralistik dan kekeluargaan.
Biasanya asosiasi yang bersifat profesional adalah merupakan organisasi yang bukan bertujuan untuk mendapak mendapatkan untung yang bersifat materi (laba) akan tetapi berdasarkan kepada prinsip kerjasama dan kesukarelaan. Dari uraian di atas dapatlah dikemukaan bahwa yang dimaksut dengan profesi hukum tersebut adalah segala pekerjaan yang dikaitkan dengan masalah hukum.

3.      Nilai Moral Profesi Hukum
Profesi hukum merupakan satu profesi yang menuntut pemenuhan nilai moral dan pengembangannya. Nilai moral itu merupakan keuatan yang mengarah dan mendasari perbuatan luhur.setiap profesional dituntut supaya memiliki nilai moral yang kua. Franz Magnis Susen mengeukanan lima kriteria nilai moral yang mendasari keperibadian profesional hukum, diantaranya adalah:
a). Kejujuran
Kejujuran adalah dasar utama. Tanpa kejujuran maka profesional hukum mengingkari misi profesinya, sehingga dia menjadi mnafik, licik, penuh tipu diri. Sikap yang terdapat dalam kejujuran yaitu:
(a)    Sikap terbuka, berekenaan dengan pelayanan klien, kerelaan atau keikhlasan melayani atau secara Cuma-Cuma.
(b)   Sikap wajar, ini berkenaan dengan perbuatan yang tidak berlebihan tidak otoriter, tidak sok kuasa, tidak kasar, tidak menindas, tidak memeras.
b). Autentik
Autentik artinya menghayati dan menunjukan diri sesuai dengan keasliannya, kepribadian yang sebenarnya. Autentik pribadi profesional hukum diantaranya:
(a)    Tidak menyalahgunakan wewenang.
(b)   Tidak melakukan perbuatan yang merendahkan martabat.
(c)    Mendahulukan kepentingan klien
(d)   Berani berinisiatif dan berbuat sendiri dengan bijaksana, tidak semata-mata menunggu atasan
(e)    Tidak mengisolasi diri dari pergaulan sosial.
c). Bertanggung Jawab
Dalam menjalankan tugasnya, profesional hukum wajib bertanggung jawab artinya:
(a)    kesediaan melakukan dengan sebaik mungkin tugas apa saja yang termasuk lingkup profesinya ;
(b)   bertindak secara proporsional, tanpa membedakan perkara bayaran dan perkara cuma-cuma (prodeo)
(c)    kesediaan memberikan laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan kewajibannya.
d). Kemandirian Moral
Kemandirian moral artinya tidak mudah terpengaruh atau tidak mudah mengikuti pandangan moral yang terjadi di sekitarnya, melainkan memebetuk penilaian dan mempunyai pendirian sendiri. mandiri secara moral berarti tidak dapat dibeli oleh pendapat mayoritas, tidak terpengaruhi oleh pertimbangan untung rugi (pamrih), penyesuaian diri dengan nilai kesusilaan dan agama.
 e). Keberanian Moral
Keberanian moral adalah kesetiaan terhadap suara hati nurani yang menyatakan kesediaan untuk menanggung resiko konflik. Keberanian tersebut antara lain :
(a)    menolak segala bentuk korupsi, kolusi suap, pungli
(b) menolak segala bentuk cara penyelesaian melalui jalan belakang yang tidak sah.

4.      Etika Profesi Hukum
Kehidupan manusia dalam melakukan interaksi sosialnya selalau akan berpatokan pada norma atau tatanan hukum yang berada dalam masyarakat tersebut. Menakala manusia melakukan interaksinya, tidak berjalan dalam kerangka norma atau tatanan yang ada, maka akan terjadi bias dalam proses interaksi itu. Sebab tidak bisa dipungkiri bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk menyimpang dari norma atau tatanan yang ada, karena terpengaruh oleh adanya hawa nafsu yang tidak terkendali.
Hal yang sama juga akan berlaku bagi yang namanya profesi, khususnya profesi hukum. Berjalan tidaknya penegakkan hukum dalam suatu masyarakat tergantung pada baik buruknya profesional hukum yang menjalani profesinya tersebut. Untuk menghindari jangan sampai terjadi penyimpangan terhadap menjalankan profesi, khususnya profesi hukum, dibentuklah suatu norma yang wajib dipatuhi oleh orang yang tergabung dalam sebuah profesi yang lazim disebut “Etika Profesi”. Dengan harapan bahwa para profesional tersebut tunduk dan patuh terhadap kode etik profesinya.
Menurut Notohamidjojo dalam menjalankan kewajibannya, profesional hukum perlu memiliki:
a)      Sikap manusiawi, artinya tidak menanggapi hukum secara formal belaka, melainkan kebenaran yang sesuai dengan hati nurani.
b)      Sikap adil, artinya mencari kelayakan yang sesuai dengan perasaan masyarakat.
c)      Sikap patut, artinya mencari pertimbangan untuk menentukan keadilan dalam suatu perkara kongkret.
d)     Sikap jujur, artinya menyatakan sesuai itu benar menurut apa adanya dan menjauhi yang tidak benar dan tidak patut.

5.      Hubungan Etika dan Profesi Hukum
Etika dimasukkan dalam disiplin pendidikan hukum disebabkan belakangan ini terlihat adanya gejala penurunan etika dikalangan aparat penegak hukum, yang mana hal itu tentunya akan merugikan bagi pembangunan masyarakat di Indonesia.[1]
Di sisi lain, seorang profesional hukum harus memiliki pengetahuan bidang hukum yang andal, sebagai penentu bobot kualitas pelayanan hukum secara profesional kepada masyarakat. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 Keputusan Mendikbud No 17/Kep/O/1992 tentang Kurikulum Nasional Bidang Hukum, program sarjana bidang hukum bertujuan untuk menghasilkan sarjana hukum yang:
1)      Menguasai hukum indonesia
2)      Mampu menganalisis masalah hukum dalam masyarakat
3)      Mampu menggunakan hukum sebagai sarana untuk memecahkan masalah kongkret dan tetap berdasarkan prinsip-prinsip hukum
4)      Menguasai dasar-dasar ilmiah untuk mengembangkan ilmu hukum dan hukum
5)      Mengenal dan peka akan masalah-masalah keadilan dan masalah-masalah kemasyarakatan.
Dengan adanya pelajaran etika profesi hukum ini diharapkan lahirlah nantinya sarjana-sarjana hukum yang profesional dan beretika. Pengembangan profesi hukum haruslah memiliki keahlian yang berkeilmuan, khususnya dalam bidang itu. Oleh karena itu setiap profesional harus secara mandiri mampu memenuhi kebutuhan warga masyarakat yang memerlukan pelayanan dalam bidang hukum. Untuk itu tentunya memerlukan keahlian yang berkeilmuan.
Etika profesi adalah sebagai sikap hidup, yang mana berupa kesediaan untuk memberikan pelayanan profesional di bidang hukum terhadap masyarakat dengan keterlibatan penuh dan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas berupa kewajiban terhadap masyarakat yang membutuhkan pelayanan hukum.
Dari uraian di atas hubungan antara etika dan profesi hukum sangat erat, sebab dengan etika inilah para profesional hukum dapat melaksanakan tugas (pengabdian) profesinya dengan baik untuk menciptakan penghormatan terhadap martabat menusia yang pada akhirnya akan melahirkan keadilan di tengah-tengah masyarakat.
B.  Kede Etik Profesi Hukum
1.      UU Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris
Lembaga Notaris di Indonesia berasal dari zaman Belanda. Karena peraturan jabatan Notaris Indonesia berasall dari Notaris Reglement (stbl 1660-3). Bahka tahun sebelumnya yakni tahun 1620, Gubernur Jenderal Jan Pieterzoen Coen mengangkat notarium publicum. Notaris pertama di Hindia Belanda adalah Melchior Kerchem dan tugasnya adalah melayani semua surat, surat wasiat dibawah tangan (codicil), persiapan penerangan, akta kontrak perdagangan, perjanjian kawin, surat wasiat (testamen)
Notaris sebagai pejabat umum merupakan sebuah profesi hukum yang memiliki posisi yang sangat strategis dalam pembangunan bangsa Indonesia. Oleh karena itu untuk dapat diangkat menjadi notaris, maka harus memenuhi persyaratan tertentu. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 3 UU no. 30 tahun 2004. Dinyatakan bahwa syarat untuk dapat diangkat sebagai notaries sebagaimana dimaksud pada pasal 3 adalah.
a.       Warga Negara Indonesia
b.      Bertakwa kepada Tuhan yang maha esa
c.       Berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun
d.      Sehat jasmani dan rohani
e.       Berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan.
f.       Telah menjalani masa magang atau bekerja sebagai karyawan notaris dalam waktu 12 (dua belas bulan) berturut-turut atas rekomendasi sendiri atau rekomendasi organisasi notaries.
g.      Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan notaris.
Sehubungan dengan ketentuan dalam pasal 7 UU no. 30 tahun 2004, maka notaris sebagai pejabat umum atau organisasi profesi dalam menjalankan tugasnya dapat berhenti atau diberhentikan karena alasan-alasan tertentu, diantaranya:
a.       Meninggal dunia
b.      Telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun
c.       Permintaan sendiri
d.      Tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk melaksanakan tugas jabatan notaris secara terus menerus lebih dari 3 (tiga) tahun, atau
e.       Merangkapa jabatan sebagaimana dimasud pada pasal 3 huruf g
Notaris sebagai pejabat umum diberikan oleh peraturan perundang undangan kewenangan untuk membuat segala perjanjian dan akta serta yang dikehendaki oleh yang berkepentingan
Notaris selaku pejabat pembuat akta autentik dalam tugasnya melekat pula kewajiban yang harus dipatuhi, karena kewajiban tersebut merupakan sesuatu yang harus dilaksanakan. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 16 ayat (1) UU no. 30 tahun 2004 dinyatakan bahwa dalam menjalankan jabatannya, notaris berkewajiban bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum.
Sejalan dengan ketentuan dalam pasal 16 ayat (!) huruf b khusus mengatur akta minuta, maka akta minuta tersebut dapat dibatalkan. Karena notaries membuat akta originali. Adapun akta originalitersebut adalah akta: pembayaran uang sewa, bungan, dan pensiunan; penawaran pembayaran tunai; protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga; akta kuasa; keterangan kepemilikan;atau akta lainnya berdasarkan peraturan perundang undangan.
Berkaitan dengan ketentuan pasal 16 UU no. 30 tahun 2004, maka notaris dalam menjalankan profesinya, selain memiliki kewajiban yang harus dipatuhinya, juga memiliki larangan-larangan yang harus dihindari dalam menjalankan tugasnya. Salah satunya yaitu menjalankan jabatan di luar jabatannya.
Notaris dalam menjalankan tugas dan fungsinya harus mempunyai wilayah kerja sebagai tempat kedudukan. Tempat kedudukan notaris ini terbatas pada wilayah kabupaten/kota. Dalam kaitannya denga tempat kedudukan notaris, maka keberadaan notaries harus disesuaikan pula dengan kondisi wilayah yang ada di tempat kedudukannya.. Oleh karena itu, untuk mencukupi jumlah notaries di suatu tempat, maka tetap mengacu pada, misalnya jumlah penduduk yang ada pada wilayah kabupaten/kota Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 22 UU no. 30 tahun 2004 dinyatakan bahwa formasi jabatan notaris ditetapkan berdasarkan: kegiatan dunia usaha; jumlah penduduk; dan/atau rata-rata jumlah akta yang dibuat oleh dan/atau di hadapan notaries setiap bulan.
Berkaitan dengan ketentuan dalam pasal 22, maka untuk mencari suasaa yang lebih baik, UU no. 30 tahun 2004 ini memberikan kesempatan kepada notaris untuk pindah tempat wilayah kerja.
Notaris sebagai pejabat pembuat akta autentik dalam menalankan tugasnya memerlukan waktu untuk istirahat dari menjalankan tugasnya tersebut. UU no. 30 tahun 2004 memberikan hak cuti kepada notaris. Ak cuti dapat diambl setelah notaris menjalankan jabatan selama 2 (dua) tahun. Oleh karena itu, selama menjalankan cuti, notaris wajib menunjuk seorang notaris pengganti Hak cuti dapat diambil setiap tahun atau sekaligus untuk beberapa tahun, dan setiap pengambilan cuti paling lama 5 (lima) tahun sudah termasuk perpanjangannya. Dengan demikian selama masa jabatan notaris, jumlah waktu cuti keseluruhan paling lama 12 (dua belas) tahun.
Notaris sebagai pejabat pembuat akta autentik sekaligus bertindak sebagai organisasi profesi yang secara fungsional medapatkan dana dari pemberian jasa layanan hukum. Oleh karena itu, notaris selaku organisasi emberi jasa layanan hukum berhak menrima honorarium dari adanya pemberian jasa tersebut. Sementara itu, khusus untuk honorarium yang bersifat sosiologis ditentukan berdasarkan fungsi sosial dari setiap objek setiap akta dengan honorarium yang diterima paling besar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah).
Tugas atau tanggung jawab notaris adalah membuat akta autentik, baik yang ditentukan peraturan perundang undangan maupun oleh keinginan orang tertentu dari badan hukum yang memerlukannya oleh karena itu, akta autentik yang dibuat oleh notaris diatur dalam pasal 38 UU no. 30 tahun 2004. Notaris sebagai sebuah organisasi profesi dalam menjalan tugas dan tanggung jawabnya tetap wajib bergabung dalam sebuah wadah induk organisasi notaris tersebut. Kebutuhan organisasi notaris ini diperuntukkan untuk menjalin hubungan emosional diantara para anggota notaris tersebut. Selain itu, organisasi ini akan mengeluarka kode etik yang dijadikan pedoman dalam menjalankan tugasnya
Notaris merupakan suatu pekerjaan yang memeiliki keahlian khusus yang menuntut pengetahuan luas serta tanggung jawab yang berat untuk mlayani kepenetingan umum dan inti tugas notaris adalah mengatur secara tertulis dan autentik hubungan-hubungan hukum antara para pihak yang secara mufakat meinta jasa notaris. Dalam menjalankan tugasnya seorang notaris harus berpegang teguh pada kode etik jabatan notaris.
2.      Advokat
a.       Pengertian
Advokat atau Penasehat Hukum adalah seseorang atau mereka yang melakukan pekerjaan jasa bantuan hukum termasuk konsultan hukum yang menjalankan pekerjaannya baik dilakukan di luar pengadilan dan atau di dalam pengadilan bagi klien sebagai mata pencahariannya. Kehormatan, keberanian, komitmen, integritas, dan profesional adalah merupakan dasar bagi seorang advokat. Sudah sejak dahulu profesi advokat dianggap sebagai profesi mulia atau lebih di kenal dengan istilah nobile officium. Oleh karena itu seorang advokat dalm bersikap haruslah menghormati hukum dan keadilan, sesuai dengan kedudukan seorang advokat sebagai the officer of the court.
Akan tetapi dalam kenyataannya advokat merupakan profesi yang sangat di benci oleh masyarakat. Hal ini terjadi karena advokat itu sendiri yang telah membuat profesinya itu menjadi dibenci oleh masyarakat.
Pada masa sekarang ini tidak bisa dipungkiri lagi profesi advokat hanya lebih mementingkan materi dari pada kebenaran dan keadialanyang ditegakkan. Dalam suatu penelitiaan menyimpulkan bahwa semakin besar rasio antara jumlah advokat dan jumlah penduduk maka semakin rendah tingkat pertumbuhan ekonomi. Sejarah telah membuktikan bahawa hukum dan advokat menjadi unsur terpenting bagi suatu tatanan masyarakat, di belahan dunia manapun masyarakat tersebut berada. Sudah merupakan suatu keharusan bagi seorang advokat memiliki kode etik dalam menjalankan tugasnya. Kode etik profesi ini bertujuan agar ada pedoman moral bagi seorang advokat dalam bertindak menjalankan tugasnya. Etika bagi seorang advokat terdapat dalam UU Advokat No.18 tahun 2003 dan juga terdapat dalam Kode Etik Advokat Indonesia.
b.      Kepribadian Advokat/Penasehat Hukum
Advokat/Penasehat Hukum adalah warganegara Indonesia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia demi tegaknya hukum, setia kepada falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
1.             Advokat/Penasehat Hukum dalam melakukan pekerjaannya wajib untuk selalu menjunjung tinggi hukum, kebenaran dan keadilan.
2.             Advokat/Penasehat Hukum harus bersedia memberi nasehat dan bantuan hukum kepada setiap orang yang memerlukannya tanpa membeda-bedakan kepercayaan, agama, suku, jenis kelamin, keturunan, kedudukan sosial dan keyakinan politiknya.
3.             Advokat/Penasehat Hukum dalam melakukan perkerjaannya tidak semata-mata mencari imbalan materiil, tetapi diutamakan bertujuan untuk menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran dengan cara yang jujur dan bertanggung jawab.
4.             Advokat/Penasehat Hukum dalam melakukan pekerjaannya bekerja dengan bebas dan mendiri tanpa pengaruh atau dipengaruhi oleh siapapun.
5.             Advokat/Penasehat Hukum wajib memperjuangkan serta melindungi hak-hak azasi manusia dan kelestarian lingkungan hidup dalam Negara Hukum Republik Indonesia.
6.             Advokat/Penasehat Hukum wajib memiliki sikap setia kawan dalam memegang teguh rasa solidaritas antara sesama sejawat.
7.             Advokat/Penasehat Hukum wajib memberikan bantuan pembelaan hukum kepada sejawat Advokat/Penasehat Hukum yang disangka atau didakwa dalam suatu perkara pidana oleh yang berwajib, secara sukarela baik secara pribadi maupun atas penunjukkan/permintaan organisasi profesi.
8.             Advokat/Penasehat Hukum tidak dibenarkan melakukan perkerjaan lain yang dapat merugikan kebebasan, derajat dan martabat Advokat/Penasehat Hukum dan harus senantiasa menjunjung tinggi profesi Advokat/Penasehat Hukum sebagai profesi terhormat (officium nobile).
9.             Advokat/Penasehat Hukum dalam melakukan tugas pekerjaannya harus bersikap sopan santun terhadap para pejabat hukum, terhadap sesama sejawat Advokat/ Penasehat Hukum dan terhadap masyarakat, namun ia wajib mempertahankan hak dan martabat Advokat/Penasehat Hukum di mimbar manapun.
10.         Advokat/Penasehat Hukum berkewajiban membela kepetingan kliennya tanpa rasa takut akan menghadapi segala kemungkinan resiko yang tidak diharapkan sebagai konsekwensi profesi baik resiko atas dirinya atau pun orang lain.
11.         Seorang Advokat/Penasehat Hukum yang kemudian diangkat untuk menduduki suatu jabatan Negara (Eksekutif, Legislatif, Judikatif), tidak dibenarkan untuk tetap dicantumkan/dipergunakan namanya oleh kantor dimana semulanya ia bekerja.
c.       Kewajiban Advokat Kepada Pengadilan
Seorang advokat (counsel) adalah seorang “pejabat pengadilan” (officer of the court) apabila dia melakukan tugasnya di pengadilan. Oleh karena itu seorang advokat harus mendukung kewenangan (authority) pengadilan dan menjaga kewibawaan (dignity) sidang. Untuk memungkinkan keadaan ini, maka advokat harus patuh pada aturan-aturan sopan santun (decorum) yang berlaku dalam melaksanakan tugasnya dan menunjukkan sikap penghargaan profesional (professional respect) kepada hakim, advokat lawan (atau jaksa/penuntut umum), dan para saksi. Kadang-kadang hal ini tidak mudah, dua contoh saya ajukan di sini:
(a) Advokat yang baik berkewajiban untuk protes secara kuat, apabila dia berpendapat bahwa pandangan atau pendapat (majelis) hakim keliru dalam menerapkan hukum acara (misalnya mengenai pembuktian atau saksi), namun demikian begitu (majelis) hakim telah memberi keputusan, maka advokat harus menerimanya. Tentu dia tetap berhak untuk mempergunakan upaya hukum yang tersedia, misalnya mengajukan banding.
(b) Ada kemungkinan seorang advokat mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang jauh lebih dibanding (majelis) hakim. Sehingga sering sukar baginya untuk menahan diri melihat sikap dan putusan (majelis) hakim yang dianggapnya keliru. Tetapi juga di sini seorang advokat harus menjaga disiplin dirinya dan menahan diri untuk dapat tetap menjaga sopan santun sidang. Putusan (majelis) hakim harus ditaati, bagaimanapun dirasakan keliru dan tidak adil. Cara mengatasinya adalah hanya melalui upaya hukum yang tersedia.
Apabila seorang advokat tidak dapat mengendalikan dirinya dalam sidang, maka dia dapat ditegur secara keras oleh (majelis) hakim. Di negara-negara dengan “common law system” advokat ini dapat dituduh melakukan “contempt of court” (pelecehan pengadilan). Apakah keadaan yang diuraikan di atas termasuk dalam ketentuan KEAI, Pasal 3 alinea 8 “ harus bersikap sopan terhadap semua pihak, namu ?” Kiranya Dewan Kehormatan Advokat akan menghadapi pertanyaan ini di kemudian hari.
“Contempt of court” di negara-negara Anglo-Saxon juga dipergunakan terhadap advokat yang mempergunakan media cetak atau media lainnya untuk memberikan pendapat tentang kasusnya, sebelum ada putusan berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijzde). Alasannya adalah bahwa ucapan advokat bersangkutan dapat menganggu jalannya peradilan (interfere with a fair trial and prejudice the due administration of justice – Canon 20 ABA). Dalam Pasal 8 KEAI alinea 6 memang ada asas (ketentuan) yang tidak membenarkan advokat mempergunakan media massa untuk mencari publisitas. Tetapi contoh di atas untuk “contempt of court” adalah berbeda. Kesimpulan saya adalah bahwa KEAI belum mengatur kemungkinan adanya pelecehan terhadap pengadilan yang dilakukan seorang advokat dengan memperngaruhi pengadilan melalui media massa (obstruction of justice).
Dalam hal kewajiban advokat kepada pengadilan, ABA canon 22 menyatakan bahwa perilaku advokat di muka sidang pengadilan dan dengan para teman sejawatnya harus bercirikan “keterbukaan” (candor, frankness) dan “kejujuran” (fairness). Inti dari asas ini adalah melarang advokat berperilaku curang (mislead, deceive)terhadap (majelis) hakim dan advokat lawannya.          Memang kewajiban advokat mempunyai dua sisi: dia berkewajiban untuk loyal (setia) pada kliennya, tetapi juga wajib beritikad baik dan terhormat dalam berhubungan dengan pengadilan. Yang pertama adalah “the duty of fidelity” kepada kliennya dan ini belum ada dalam Pasal 4 KEAI tentang “hubungan (advokat) dengan klien”. Kewajiban kepada pengadilan tersebut di atas adalah “the duty of good faith” dan “the duty of honorable dealing”. KEAI juga harus menyediakan suatu bab khusus tentang hubungan advokat dengan pengadilan. Bab baru ini harus berbeda dengan bab VI KEAI yang mengatur tentang “cara bertindak menangani perkara”.

d.      Kewajiban Advokat Kepada Sejawat Profesi
Bab IV KEAI mengatur asas-asas tentang hubungan antar teman sejawat advokat. Dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam kegiatan menjalankan profesi sebagai suatu usaha, maka persaingan adalah normal. Namun persaingan (competition) ini harus dilandasi oleh “sikap saling menghormati, saling menghargai, dan saling mempercayai” (KEAI Pasal 5 alinea 1). Apalagi dalam persaingan melindungi dan mempertahankan kepentingan klien, sering antara para advokat, atau advokat dan jaksa/penuntut umum, terjadi “pertentangan” (contest). Sering pula advokat terbawa oleh “rasa-marah” (ill-feeling) antar klien mereka. Kejadian terakhir ini harus dicegah, permusuhan yang mungkin ada di antara klien-klien kedua belah pihak tidak boleh mempengaruhi para advokat di dalam perilakunya. Suatu ungkapan mengatan “Do as adversaries do in law: strive mightily, but eat and drink as friends”.
Alinea 4 dari Pasal 5 KEAI merujuk lepada penarikan atau perebutan klien. Dalam bahasa ABA ini dinamakan “encroaching” atau “trespassing”, secara paksa masuk dalam hak orang lain (teman sejawat advokat). Secara gambalng dikatakan adanya “obligation to refrain from deliberately stealing each other’s clients”. Bagaimana dalam praktik nanti Dewan Kehormatan KEAI akan mendefinisikan “stealing of clients” ini? Bagaimana akan ditafsirkan “menarik atau merebut klien” itu? Kita harus menyadari bahwa adalah hak klien untuk menentukan siapa yang akan memberinya layanan hukum; siapa yang akan mewakilinya; atau siapa advokatnya (it is for the client to decide who shall represent him).
Masalah lain dalam hubungan antar advokat ini adalah tentang penggantian advokat. Advokat lama berkewajiban untuk menjelaskan pada klien segala sesuatu yang perlu diketahuinya tentang perkara bersangkutan. Di sini perlu diperhatikan apa yang diatur dalam Pasal 4 alinea 2 KEAI tentang pemberian keterangan oleh advokat yang dapat menyesatkan kliennya. Advokat baru sebaiknya menghubungi advokat lama dan mendiskusikan masalah perkara bersangkutan dan perkembangannya terakhir. Yang perlu diperhatikan advokat baru adalah, bahwa klien telah benar-benar mencabut kuasanya kepada advokat lama dan klien juga telah memenuhi kewajibannya pada advokat lama (lihat alinea 5 dan 6, Pasal 5 KEAI).
Hal yang tidak boleh dilakukan seorang advokat adalah berkomunikasi atau menegosiasi maslah perkara, langsung dengan seseorang yang telah mempunyai advokat, tanpa kehadiran advokat orang ini. Asas ini tercantum dalam Canon 9 ABA. Namun demikian, asas ini tidak berlaku untuk mewawancarai saksi (-saksi) dari pihak lawan dalam berperkara (lihat alinea 5 dan 6, Pasal 7 KEAI).
e.       Kewajiban Advokat Kepada Klien
Advokat adalah suatu profesi terhormat (officium mobile) dan karena itu mendapat kepercayaan penuh dari klien yang diwakilinya. Hubungan kepercayaan ini terungkap dari kalimat “the lawyer as a fiduciary” dan adanya “the duty of fidelity” para advokat terhadap kliennya. Akibat dari hubungan kepercayaan dan kewajiban untuk loyal pada kliennya ini, maka berlakulah asas tentang kewajiban advokat memegang rahasia jabatan (lihat Pasal 4 alinea 8 KEAI).
Seorang advokat wajib berusaha memperoleh pengetahuan yang sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya tentang kasus kliennya, sebelum memberikan nasihat dan bantuan hukum. Dia wajib memberikan pendapatnya secara terus terang (candid) tentang untung ruginya (merus) perkara yang akan dilitigasi dan kemungkinan hasilnya. Dalam canon 8 ABA ini dinamakan “duty to give candid advice”. Sedang dalam KEAI diperingatkan agar advokat “tidak memberikan keterangan yang menyesatkan” dan “tidak menjamin kepada kliennya bahwa perkara yang ditanganinya akan menang” (Pasal 4 alinea 2 dan 3).
Salah satu tugas utama dari seorang advokat adalah menjaga agar dirinya tidak menerima kasus dari klien yang menimbulkan “pertentangan atau konflik kepentingan” (conflicting interest). Terutama dalam kantor hukum yang mempekerjakan sejumlah besar advokat, maka sebelum menerima sebuah perkara, nama calon klien dan lawan calon klien serta uraian singkat kasusnya perlu diedarkan kepada para advokat sekantor. Ketentuan tentang hal ini, yaitu “duty not to represent conflicting interests” belum ada dalam KEAI. Adapun a.l. alasan perlunya ketentuan seperti ini, adalah asas yang telah disebut di atas “the lawyer as a fiduciary” dan “the duty of fidelity”. Kepercayaan klien pada advokat mungkin telah menyebabkan klien memberi advokatnya informasi konfidensial atau pribadi. Kewajiban untuk loyal kepada klien berakibat bahwa advokat dilarang (forbids) menerima perkara yang akan merugikan kepentingan kliennya (forbids the acceptance in matters adversaly affecting any interest of the client).
Mungkin terjadi keadaan, dimana dua (atau lebih) klien lama suatu kantor advokat mempunyai kepentingan dalam perkara yang sama dan kepentingan ini saling bertentangan. Asas pertama yang harus diperhatikan adalah “tidak mewakili kepentingan yang bertentangan (conflicting interests), kecuali dengan persetujuan semua pihak yang berkepentingan (the consent of all concerned)”. Sedangkan asas kedua adalah bahwa “kecuali semua pihak memberi persetujuan, maka hal ini berarti tidak boleh mewakili siapapun dari mereka (he may represent no one of them)”.
Pasal 4 alinea 8 KEAI mengatur tentang kewajiban advokat memegang rahasia jabatan dan “ wajib tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antar advokat dan klien”. Pertanyaan yang mungkin harus dijawab oleh Dewan Kehormatan adalah: (a) apakah ketentuan ini berlaku juga bila mempertimbangkan pengaduan tentang “conflicting interests”, dan (b) apakah kewajiban “not to disclose or abuse professional confidence” tetap berlaku setelah klien meninggal dunia?
Masih dalam konteks “rahasia jabatan” (professional confidential information), apakah alinea 8 di atas itu mutlak? Bagaimana dengan informasi bahwa klien akan melakukan kejahatan? Menurut saya, advokat dalam hal ini dapat memberikan informasi “secukupnya” (as may be necessary) untuk mencegah terjadinya kejahatan ataupun melindungi calon korban. Pertanyaan yang lain adalah, bagaimana dengan informasi konfidensial klien yang mempunyai implikasi terhadap keamanan umum (public safety) atau keamanan negara (state security)? Di sini asas “menjaga rahasia jabatan” juga tidaklah mutlak.
Pendapat publik sering keliru menafsirkan kewajiban advokat menerima klien, Pasal3 alinea 1 KEAI memberi hak kepada advokat untuk menolak menerima perkara seorang klien, kecuali atas dasar agama, politik, atau status sosial. Ini dinamakan “the right to decline employment” (canon 31 ABA). Sedangkan dalam alinea 2, dikatakan bahwa tujuan advokat menerima perkara klien adalah terutama “tegaknya hukum, kebenaran, dan keadilan”. Sedangkan dalam Pasal 4 alinea 9 KEAI tidak dibenarkan seorang advokat melepaskan tugas yang diberikan oleh kliennya pada saat yang tidak menguntungkan posisi klien. Ketiga ketentuan di atas harus dibaca bersama. Dalam kasus dimana klien oleh publik telah “dianggap” bersalah, maka berlaku asas “the right of the lawyer to undertake the defense of the person accused of crime, regardless of his personal opinion as to the guilt of the accused” (canon 5 ABA).
Dalam hal kemudian advokat ingin mengundurkan diri, maka hal itu harus dilakukan dengan “good cause” (alasan yang wajar). Dikatakan a.l. oleh canon 44 ABA: “the lawyer should non throw up the unfinished task to the detriment of his client, except for reasons of honor or self-resfect”. Apa yang dimaksud dengan ini adalah misalnya: klien memaksa agar advokat melakukan sesuatu yang tidak adil (unjust) atau “immoral” dalam penanganan kasusnya. Apabila dia akan mengundurkan diri, maka advokat harus memberikan kepada klien cukup waktu untuk memilih advokat baru.
Sejauh mana seorang advokat boleh memperjuangkan kepentingan kliennya juga sering disalahtafsirkan oleh publik. Hal yang sangat merugikan dan merusak kehormatan advokat adalah pendapat yang sangat keliru: “it is the duty of the lawyer to do what ever may enable him to succeed in winning his clients cause”. Pendapat yang keliru ini bertentangan dengan sumpah atau janji advokat dalam Pasal 4 ayat (2) UU Advokat, yang a.l. mengatakan bahwa dia (advokat) akan bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan, serta tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan, atau pejabat lainnya agar memenangkan perkara kliennya.
Asas terakhir di atas, adalah bagaimana kita harus menafsirkan dan menjalankan profesi advokat seperti yang diwajibkan oleh asas KEAI, Pasal 3 alinea 7: “Advokat harus senantiasa menjunjung tinggi profesi Advokat sebagai profesi terhormat (officium mobile)”.
f.       Cara Bertindak Dalam Menangani Perkara
1.         Advokat/Penasehat Hukum bebas mengeluarkan pernyataan-pernyataan atau pendapatnya yang dikemukakan dalam sidang pengadilan, dalam rangka pembelaan suatu perkara yang menjadi tanggung jawabnya, baik dalam sidang terbuka maupun sidang tertutup, yang diajukan secara lisan atau tertulis, asalkan pernyataan atau pendapat tersebut dikemukakan secara proporsional dan tidak berlebihan dengan perkara yang ditanganinya.
2.         Advokat/Penasehat Hukum mempunyai kewajiban untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma (prodeo) bagi orang yang tidak mampu, baik dalam perkara perdata maupun dalam perkara pidana bagi orang yang disangka/didakwa berbuat pidana baik pada tingkat penyidikan maupun di muka pengadilan, yang oleh pengadilan diperkenankan beracara secara cuma-cuma.
3.         Surat-surat yang dikirim oleh Advokat/Penasehat Hukum kepada teman sejawatnya dalam suatu perkara, tidak dibenarkan ditunjukkan kepada Hakim, kecuali dengan izin pihak yang yang mengirim surat tersebut.
4.         Surat-surat yang dibuat dengan dibubuhi catatan “SANS PREJUDICE “, sama sekali tidak dibenarkan ditunjukkan kepada Hakim.
5.         Isi pembicaraan atau korespondensi kearah perdamaian antara Advokat/ Penasehat Hukum akan tetapi tidak berhasil, tidak dibenarkan untuk digunakan sebagai alasan terhadap lawan dalam perkara di muka pengadilan.
6.         Advokat/Penasehat Hukum tidak dibenarkan menghubungi skasi-saksi pihak lawan untuk didengar keterangan mereka dalam perkara yang bersangkutan.
7.         Dalam suatu perkara perdata yang sedang berjalan, Advokat/Penasehat Hukum hanya dapat menghubungi Hakim bersama-sama dengan Advokat/Penasehat Hukum pihak lawan.
8.         Dalam hal meyampaikan surat hendaknya seketika itu juga dikirim kepada Advokat/Penasehat Hukum pihak lawan tembusan suratnya.
9.         Dalam suatu perkara pidana yang sedang berjalam di pengadilan, Advokat/ Penasehat Hukum dapat menghubungi Hakim bersama-sama dengan Jaksa Penuntut Umum.
10.     Advokat/Penasehat Hukum tidak diperkenankan menambah catatan-catatan pada berkas di dalam/di luar sidang meskipun hanya bersifat “informandum”, jika hal itu tidak diberitahukan terlebih dahulu kepada Advokat/Penasehat Hukum pihak lawan dengan memberikan waktu yang layak, sehingga teman sejawat tersebut dapat mempelajari dan menanggapi catatan yang bersangkutan.
11.     Surat-surat dari Advokat/Penasehat Hukum lawan yang diterma untuk dilihat oleh Advokat/Penasehat Hukum, tanpa seizinnya tidak boleh diberikan surat aslinya/salinannya kepada kliennya atau kepada pihak ke tiga, walaupun mereka teman sejawat.
12.     Jika diketahui seseorang mempunyai Advokat/Penasehat Hukum sebagai kuasa hukum lawan dalam suatu perkara tertentu, maka hubungan dengan orang tersebut mengenai perkara tertentu tersebut hanya dapat dilakukan melalui Advokat/ Penasehat Hukum yang bersangkutan atau dengan seizinnya.
13.     Jika Advokat/Penasehat Hukum harus berbicara tentang soal lain dengan klien dari sejawat Advokat/Penasehat Hukum yang sedang dibantu dalam perkara tertentu, maka ia tidak dibenarkan meyinggung perkara tertentu tersebut.
14.     Advokat/Penasehat Hukum menyelesaikan keuangan perkara yang dikerjakannya diselesaikan melalui perantaraan Advokat/Penasehat Hukum pihak lawan, terutama mengenai pembayaran-pembayaran kepada pihak lawan, terkecuali setelah adanya pemberitahuan dan persetujuan dari Advokat/Penasehat Hukum pihak lawan tersebut.
15.     Advokat/Penasehat Hukum yang menerima pembayaran lansung dari pihak lawan, harus segera melaporkannya kepada Advokat/Penasehat Hukum pihak lawan tersebut.

3.      Kode Etik Hakim

Setiap Hakim Indonesia mempunyai pegangan tingkah laku yang harus dipedomaninya:

A.
Dalam Persidangan


1.
Bersikap dan bertindak menurut garis-garis yang ditentukan dalam Hukum Acara yang berlaku, dengan memperhatikan azas-azas peradilan yang baik, yaitu :



a.
Menjunjung tinggi hak seseorang untuk mendapat putusan (right to a decision) dimana setiap orang berhak untuk inengajukan perkara dan dilarang menolak untuk mengadilinya kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang serta putusan harus dijatuhkan dalam waktu yang pantas dan tidak terlalu lama.



b.
Semua pihak yang berperkara berhak atas kesempatan dan perlakuan yang sama untuk didengar, diberikan kesempatan untuk membela diri, mengajuan bukti-bukti serta memperoleh informasi dalam proses pemeriksaan (a fair hearing).



c.
Putusan dijatuhkan secara obyektif tanpa dicemari oleh kepentingan pribadi atau pihak lain (no bias) dengan menjunjung tinggi prinsip (nemo judex in resud).



d.
Putusan harus memuat alasan-alasan hukum yang jelas dan dapat dimengerti serta bersifat konsisten dengan penalaran hukum yang sistematis (reasones and argumentations of decision), dimana argumentasi tersebut harus diawasi (controleerbaarheid) dan diikuti serta dapat dipertanggung-jawabkan(accountability) guna menjamin sifat keterbukaan (transparancy) dan kepastian hukum (legal certainity) dalam proses peradilan.



e.
Menjunjung tinggi hak-hak azasi manusia.


2.
Tidak dibenarkan menunjukkan sikap memihak atau bersimpatiataupun antipati kepada pihak-pihak yang berperkara, baik dalam ucapan maupun tingkah laku.


3.
Harus bersifat sopan,tegas dan bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam ucapan maupun dalam perbuatan.


4.
Harus menjaga kewibawaan dan kehidmatan persidangan antara lain serius dalam memeriksa, tidak melecehkan pihak-pihak baik dengan kata-kata maupun perbuatan.

.
5.
Bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan.


.



B.
Terhadap Sesama Rekan


1.
Memelihara dan memupuk hubungan kerjasama yang baik antara sesama rekan.


2.
Memiliki rasa setia kawan, tanggang rasa. dan saling menghargai antara sesama rekan.


3.
Memiliki kesadaran, kesetiaan, penghargaan terhadap Korps Hakim secara wajar.


4.
Menjaga nama baik dan martabat rekan, baik di dalam maupun di luar kedinasan.


.



C.
Terhadap Bawahan/pegawai


1.
Harus mempunyai sifat kepemimpinan.


2.
Membimbing bawahan/pegawai untuk mempertinggi pengetahuan.


3.
Harus mempunyai sikap sebagai seorang Bapak/lbu yang baik.


4.
Memelihara sikap kekeluargaan terhadap bawahan/ pegawai.


5.
Memberi contoh kedisiplinan.


.



D.
Terhadap Masyarakat.


1.
Menghormati dan menghargai orang lain.


2.
Tidak sombong dan tidak mau menang sendiri.


3.
Hidup sederhana.


.



E.
Terhadap Keluarga/Rumah Tangga.


1.
Menjaga keluarga dari perbuatan-perbuatan tercela, menurut norma-norma hokum kesusilaan.


2.
Menjaga ketentraman dan keutuhan keluarga.


3.
Menyesuaikan kehidupan rumah tangga dengan keadaan dan pandangan masyarakat.


.



Sumber: Pasal 4 Kode Etik Hakim Indonesia

4.      Wewenang dan kode etik Jaksa Penuntut Umum
UU No 8 tahun 1981 tentang KUHP “Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh UU ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekueten hukum tetap.
Penuntut umum Adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penunuttan dan melaksanakan penetapan hakim.
Tugas Jaksa:
a.       Sebagai penuntut umum
b.      Pelaksana putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (eksekutor)
Dalam tugasnya sebagai penuntut umum, jaksa mempunyai tugas:
1.      Melakukan penuntutan;
2.      melaksanakan penetapan hakim Menurut UU No. 5 Tahun 1991 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejasaan Republik IndonesiaDalam melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1, kejaksaan mempunyai tugas dalam pasal (2) yang berbunyi:
3.      mengadakan penuntutan dalam perkara-perkara pidana pada pengadilan yang berwenang;
b. Menjalankan keputusan dan penetapan hakim pidana
4.      Mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran serta mengawasi dan mengkoordinasikan alat-alatr penyidik menurut ketentuan-ketentuan dalam UU Hukum Acara Pidana dan lain-lain peraturan
5.      Mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara
6.      Melaksanakan tugas-tugas khusus lain yang diberikan kepadanya oleh suatu peraturan negara.


[1] Suhrawardi K Lubis, etika Profesi Hukum. (Jakarta: Sinar Grafika, 2002),. 4.

2 comments: