Monday, April 20, 2015

Barang Milik Pemerintah/Negara dalam Tata Usaha Negara

A.      Barang Milik Pribadi Pemerintah (Negara) Dan Milik Public
Negara adalah kategori Badan Hukum Publik, begitu juga Propinsi, Kabupaten dan kota. Badan – badan lain yang berbadan hukum berdasarkan Hukum Publik. Konsekuensinya mereka dapat mempunyai Hak Milik dan hak-hak lainnya. Sebagaimana Badan Hukum Perdata, mereka juga boleh menjual, menyewakan maupun memanfaatkan sendiri barang miliknya. Barang milik Negara dapat dibagi menjadi dua,yaitu:
1.        Barang milik pribadi Negara (privat domein)
Benda-benda yang dipakai oleh aparat pemerintah secara langsung dimana kemanfaatn benda-benda tersebut jarang diperuntukkan untuk umum.
2.        Barang milik publik (public domein)
Benda-benda yang disediakan pemerintah untuk masyarakat secara umum
Indonesia sebagai Negara yang berdasarkan Hukum, disamping berusaha melindungi usaha menjalankan fungsi diatas adalah dapat digunakan oleh umum, yang dalam Hukum Administrasi Negara hal ini dikenal dengan Publik Domein atau barang milik public. Contoh konkrit dari public domein ini adalah Rumah Sakit Pemerintah. Dibidang pembangunan kesehatan, peran Pemerintah lebih dititik beratkan pada pembinaan pengaturan, dan pengawasan untuk terciptanya pemerataan pelayanan kesehatan, dan juga keseimbangan antara pelayanan kesehatan yang diberikan pemerintah oleh swasta. Barang milik publik yang menjadi hak Negara dalam pelaksanaannya dibagi dua, yaitu:


1.        Pemakaian biasa
Pada pemakaian biasa pemerintah harus memperkenankan begitu saja kepada umum tanpa memungut pembayaran dari penggunaannya, dalam hal ini pemerintah hanya bisa membuat aturan demi kelancaran dan ketertiban penggunaan barang tersebut
2.        Pemakaian umum.
Lain halnya dengan Milik Publik dengan pemakaian khusus, disini pemerintah dapat memakai hak keperdataannya dan menetapkan syarat-syarat financial, dan dapat pula hanya diberikan kepada seseorang.
Barang Milik Publik (Publik Domein) sesuai dengan pasal 1 butir 10 UU No.1 Tahun 2004 adalah semua barang yang di beli atau diperoleh atas beban APBN / berasal dari perolehan lainnya yang sah. Barang Milik Publik dimaksud dapat berada disemua tempat , tak terbatas hanya yang ada pada kementerian/ lembaga. [1]
Apakah benar Negara menjadi “ pemilik “ dari Publik Domein tersebut. Kalau kita lihat pasal 33 UUD 1945 disebutkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting begi Negara & menguasai hajat orang banyak dikuasai oleh Negara. Penggunaan istilah “memiliki” dengan “menguasai” memang berbeda namun tidak berarti bertentangan, karena harus disadari disamping Publik Domein ada Privat Domein, yaitu kepemilikan Negara secara perdata. [2]
Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor: Kep-225/ MK/4/1971 tertanggal 12 April 1971 sebagai Pelaksanaan dari Inpres No.3/1971 masih belum membedakan antara Privat Domein dengan Publik Domein, hanya membedakan dari segi bergerak dengan tidak bergerak. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan tersebut, penggolongan Barang-barang Milik Publik Negara adalah sebagai berikut:
1.           Barang – barang tidak bergerak, yakni:
a.       Tanah kehutanan, pertanian, perkebunan, lapangan olahraga, dan tanah – tanah yang belum dipergunakan, jalan-jalan (tidak termaksud daerah), jalan kereta api, jembatan, terowongan, waduk, lapangan terbang, bangunan-bangunan irigasi , dll.
b.      Gedung-gedung yang digunakan untuk kantor, pabrik-pabrik, bengkel, sekolah, rumah sakit,studio,dll.
c.       Gedung-gedung tempat tinggal sementara, seperti: rumah-rumah tempat tinggal, tempat istirahat, asrama,dll.
d.      Monumen-monumen, seperti: monument purbakala (candi-candi), monument alam, monument peringatan sejarah, dll.
2.         Barang-barang bergerak, yakni:
a.       Alat –alat besar,seperti: bulldozer, tractor, mesin pengebor tanah,dll.
b.      Peralatan yang berada di dalam pabrik, studio, dll.
c.       Peralatan kantor, seperti:mesin tik, computer ,dll.
d.      Semua inventaris perpustakaan dan invetaris yang bercorak kebudayaan. [3]
e.       Hewan-hewan, yakni jenis hewan seperti sapi, kerbau, kuda, dll
Pasal 1 huruf O dari Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 4 Tahun 1979, juga member rumusan bahwa barang pemerintah daerah adalah semua kekayaan pemerintahan daerah yang berwujud termasuk hewan, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak beserta bagian-bagiannya yang merupakan satuan tertentu yang dapat dinilai, dihitung, diukur, atau ditimbang kecuali uang [4]

B.       Hak-Hak Pemerintah dalam Mengontrol dan Menggunakan Milik Pribadi
1.        Pendapatan asli , yang meliputi:
(a) hasil pajak ;
(b) hasil retribusi ;
(c) hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan; dan
(d) lain-lain yang sah menurut Undang-Undang
2.        Dana perimbangan yang meliputi:
(a). Dana Bagi Hasil;
(b). Dana Alokasi Umum; dan
(c). Dana Alokasi Khusus; dan 
3.        Lain-lain pendapatan negara yang sah. 
4.        Mengesahkan Undang Undang yang di buat DPR
5.        Melaksanakan Pemerintahan  yang baik (good governance)
6.        Melakukan Pembangunan Nasional

C.      Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
BUMN adalah badan usaha yang seluruh modalnya dimiliki oleh negara, atau badan usaha yang tidak seluruh sahamnya dimiliki negara. Tujuan pendirian BUMN dapat bervariasi, yakni: untuk merintis pembangunan prasarana tertentu, untuk kepentingan keamanan dan kerahasiaan negara, untuk kepentingan kesejahteraan rakyat, bersifat komersial, dan lain- lain.[5] Berikut di bawah ini adalah penjelasan dari bentuk BUMN, yaitu persero dan perum beserta pengertian arti definisi :
1.           Persero
Persero adalah BUMN yang bentuk usahanya adalah perseoran terbatas atau PT. Bentuk persero semacam itu tentu saja tidak jauh berbeda sifatnya dengan perseroan terbatas / PT swasta yakni sama-sama mengejar keuntungan yang setinggi-tingginya / sebesar-besarnya. Saham kepemilikan Persero sebagian besar atau setara 51% harus dikuasai oleh pemerintah. Karena Persero diharapakan dapat memperoleh laba yang besar, maka otomatis persero dituntut untuk dapat memberikan produk barang maupun jasa yang terbaik agar produk output yang dihasilkan tetap laku dan terus-menerus mencetak keuntungan. Organ Persero yaitu direksi, komisaris dan RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham.) Contoh persero yaitu : PT Jasamarga, Bank BNI, PT Asuransi Jiwasraya, PT PLN, dan lain sebagainya.
2.           Perum / Perusahaan Umum
Perusahaan umum atau disingkat perum adalah perusahaan unit bisnis negara yang seluruh modal dan kepemilikan dikuasai oleh pemerintah dengan tujuan untuk memberikan penyediaan barang dan jasa publik yang baik demi melayani masyarakat umum serta mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengolahan perusahaan. Organ Perum yaitu dewan pengawas, menteri dan direksi. Contoh perum / perusahaan umum yakni : Perum Peruri / PNRI (Percetakan Negara RI), Perum Perhutani, Perum Damri, Perum Pegadaian, dll.
3.           Perusahaan Jawatan (Perjan)
a.    Makna usaha adalah public service, artinya pengabdian serta pelayanan kepada masyarakat.
b.    Disusun sebagai suatu bagian dari departemen / direktorat jenderal / pemerintah daerah.
c.    Sebagai salah satu bagian dari susunan departemen / pemerintah daerah, maka perusahaan jawatan mempunyai hubungan hukum publik. Bila ada atau melakukan tuntutan / dituntut, maka kedudukannya, adalah sebagai pemerintah atau seizin pemerintah.
d.   Setiap subsidi yang diberikan kepada masyarakat selalu dapat diketahui dan dapat dicatat / dibukukan tentang yang diterimanya berupa potongan-potongan harga atau mungkin pembebasan sama sekali dari pembayaran. [6]
4.         Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
a.       Pemerintah memegang hak atas segala kekayaan dan usaha
b.      Pemerintah berkedudukan sebagai pemegang saham dalam permodalan perusahaan
c.       Melayani kepentingan umum, selain mencari keuntungan
d.      Sebagai stabilisator perekonomian dalam rangka menyejahterkan rakyat.
e.       Sebagai sumber pemasukkan negara.[7]

D.      Pengurusan Badan Milik Public
Pengurusan barang milik Negara dipandang amat penting mengingat banyak dari barang-barang itu pemakaiannya ditujukan bagi kepentingan umum, seperti halnya gedung-gedung sekolah, rumah sakit, Bandar udara, stasiun kereta api, dan lain- lain.[8] Pengurusan sset Negara dalam pengertian yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (1) dan (2) PP No.6 / 2006 adalah tidak sekedar administrative semata, tetapi lebih maju berpikir dalam menangani asset Negara, dengan bagaimana meningkatkan efisiensi, efektifitas dan menciptakan nilai tambah dalam mengelola aset. Oleh karena itu, lingkup pengelolaan aset Negara mencakup perencanaan kebutuhan dan penganggaran , pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, penghapusan dan pengendalian. Menurut Pasal 1 Ayat (1) dan Ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2006 ini yang dimaksud dengan:
Barang milik Negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Barang milik daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Pengurus barang adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengurusan barang milik Negara / daerah.
Pejabat pengelolaan BUMN adalah Menteri Keuangan yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab sebagai berikut:
a.       Merumuskan kebijakan, mengatur, dan menetapkan pedoman pengelolaan barang milik Negara.
b.      Meneliti dan menyetujui rencana kebutuhan barang milik Negara. Menetapkan status penguasaan dan penggunaan barang milik Negara. Melakukan pengawasan dan pengendalian atas pengelolaan barang milik Negara.
Sedangkan pengelola BUMD adalah sekretaris daerah yang berwenang dan bertanggung jawab untuk:
a.       Menetapkan pejabat yang mengurus dan menyinpan barang milik daerah.
b.      Meneliti dan menyetujui rencana kebutuhan barang milik daerah. Melakukan pengawasan dan pengendalian atas pengelolaan barang milik daerah.[9]

BAB IV
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Barang-barang milik pribadi pemerintah / Negara memiliki status yang kurang lebih sama dengan barang-barang milik pribadi seseorang atau badan hokum perdata, artinya barang- barang dimaksud digunakan untuk pemakaian sendiri dan tidak ditujukan bagi peruntukan umum.

B.       Saran
Ironi sekali ketika kita melihat bahwa sekarang ini banyak sekali sumber daya potensial yang jatuh ke tangan swasta asing. Hal ini membawa dua indikasi buruk yang sangat terlihat yaitu, bahwa dengan hal tersebut berarti harga barang-barang yang dihasilkan akan jauh lebih mahal bagi masyarakat dan juga secara tidak langsung rakyat Indonesia terjajah menjadi buruh orang asing di Negara sendiri karena penguasaan sumber daya dalam negeri oleh orang asing. Ketika barang publik itu dikelola oleh pemerintah malah tidak bisa memberikan pelayanan optimal pada masyarakat.






DAFTAR PUSTAKA

Buku
Ibrahim. 1997. Prospek BUMN dan Kepentingan Umum. Citra Aditya Bakti.
Kansil, C. S. T. 1985. Hukum Perusahaan Indonesia, Jakarta: PT. Pradnya Paramita,
Philipus M. Hadjon, dkk, 2001. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta: UGM Press
Tutik, Titik Triwulan. 2011. Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media

Internet
Diakses dari http:// pmbkn.perbendaharaan.go.id/./004.htm pada tanggal 6 April 2015
Diakses dari http://digilib.usu.ac.id/download/fe/ admnegara.htm pada tanggal 7 April 2015
Diakses dari http://one.indoskripsi.com/ node/5742.htm Pada tanggal 7 April 2015
Diakses dari www .mandikdasmen.depdiknas.go.id .htm Pada tanggal 8 April 2015



[1] Diakses dari http:// pmbkn.perbendaharaan.go.id/./004.htm
[2] Diakses dari http://digilib.usu.ac.id/download/ fe/admnegara.htm
[3] Diakses dari http://one.indoskripsi.com/ node/5742.htm
[4] [4] Philipus M. Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia , (Yogyakarta: UGM Press, 2005), Hal 185-186
[5] Ibrahim, Prospek BUMN dan Kepentingan Umum. (Citra Aditya Bakti, 1997)
[6] Kansil, C. S. T, Hukum Perusahaan Indonesia , (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1985). Hal 132-135.
[7] Titik Triwulan Tutik, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), hal. 381
[8] Philipus M. Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia , (Yogyakarta: UGM Press, 2001), Hal 202.
[9] Diakses dari www . mandikdasmen.depdiknas.go.id .htm

Gugatan Kelompok (Class Action)

BAB II
PEMBAHASAN


A.      Pengertian Gugatan Kelompok (Class Action)
Class Action berasal dari Bahasa Inggris, yakni gabungan dari kata class dan action. Class adalah sekelompok orang, benda, kualitas, atau kegiatan yang mempunyai kesamaan sifat atau ciri. Sedangkan action adalah tuntutan yang diajukan ke pengadilan Definisi class action yaitu sekelompok besar orang yang berkepentingan dalam suatu perkara, satu atau lebih dari mereka dapat menuntut atau dituntut mewakili kelompok besar orang tersebut tanpa harus menyebutkan satu persatu anggota kelompok yang diwakili.[1] Dalam pasal 1 huruf a PERMA no. 1 Tahun  2002, Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action) didefinisikan sebaga suatu prosedur pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus meakili kelompok orang yang jumlahnya banyak, memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum anatara wakil kelompok dan anggota kelompoknya. [2]
Tujuan class action dalam PERMA, diatur dalam konsiderans, antara lain sebagai berikut:
1.      Mengembangkan penyederhanaan akses masyarakat memperoleh keadilan.
Dengan satu gugatan diberi hak prosedural terhadap satu atau beberapa orang bertindak sebagai penggugata untuk memperjuangkan kepentingan penggugat dan sekaligus kepentingan anggota kelompok. Hal ini dikemukakan dalam huruf a konsiderans bahwa salah satu tujuan utama proses class action untuk mengakkan asas penyelenggaraan peradilan sederhana, cepat, biaya ringan, dan transparan agar akses masyarakat terhadap keadilan semakin dekat.
2.      Mengefektifkan efisiensi penyelesaian pelanggaran hukum yang merugikan orang banyak.
3.      Mengubah sikap pelaku pelanggaran dan menumbuhkan sikap jera bagi mereka yang berpotensi untuk merugikan kepentingan masyarakat luas.
4.      Mencegah pengulangan Proses perkara yang dapat berakibat putusan yang berbeda atau tidak konsisten antara pengadilan atau majelsi hakim yang satu dengan majelis hakim yang lain, jika tuntutan tersebut diajuka secara individual.[3]
Meskipun gugatan class action memiliki banyak tujuan, tetapi juga tidak lepas dari kritikan-kritikan, antara lain:
1.      Bahwa dalam gugatan class action anggota kelas pada umumnya menerima ganti rugi yang jumlahnya kecil.
2.      JIka kesepakatn perdamaian dengan pihak tergugat dapat tercapai, anggota kelas hanya menerima keuntungan yang kecil dari perdamaian itu.
3.      Penyelesaian sengket melalui class action dirasa tidak adil bagi anggota kelompok yang mengetahui adanya gugatan perwakilan.
4.      Kesulitan mengelola anggota kelompok dalam gugatan class action

B.       Prinsip & Syarat Formil gugatan kelompok.
Sesuai dengan rumusannya, gugatan kelompok berisikan tuntutan melalui proses pengadilan yang diajukan oleh satu atau beberapa orang yang bertindak sebagai wakil kelompok. Adapun prinsip yang menjadi landasan utama konsep class action atau gugatan kelompok adalah : pertama, prinsip numerousity merupakan faktor menandakan suatu gugatan dimaksud mewakili kepentingan suatu kelompok yang terdiri dari banyak orang. Kedua,  prinsip commonality (kesamaan), yaitu prinsip kesamaan yang berkenaan dengan fakta atau dasar hukum dan kesamaan tuntutan hukum [4], lebih lanjut adanya kesamaan ditandai dengan :

·         kesamaan kepentingan (same interest),
·         kesamaan penderitaan (same grievance) dan
·         kesamaan tujuan (same purpose)
Selanjutnya berdasarakan  karakterisrik utama prosedur gugatan kelompok ,Perma No. 1 Tahun 2002 mengatur persyaratan formil dalam hal diajukannyan suatu gugatan kelompok, sebagai berikut :
1.      Adanya kelompok
Menurut hukum terwujudnya suatu kelompok harus terdiri dari sekian banyak perorangan (individu) sehingga mampu menampilkan diri atau dapat dipastikan sebagai suatu kelompok. Kelompok sebagai satuan tersendiri, secara formil harus dapat didefinisikan secara spesifik atau dapat di identifikasi dengan jelas.
Keberadaan kelompok dapat diketahui dengan :
a.       Adanya anggota kelompok
Pasal 2 huruf a dan c Perma No. 1 Tahun 2002, berbunyi ”Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak hingga tidak efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam gugatan”.
Jumlah anggota kelompok dalam perma tidak menentukan batas minimal maupun maksimal
akan tetapi untuk memenuhi prinsip commonality dan numerousity, dalam gugatan, kelompok harus didefinikan dengan rinci dan spesifik yang penting dapat dengan mudah keberadaannya dikenali.
b.      Adanya Perwakilan kelompok
Wakil kelompok dalam mengajukan gugatan bertindak untuk dan atas nama kelompok,
boleh terdiri dari satu orang maupun beberapa orang
Kedudukan wakil kelompok di hadapan hukum adalah sebagai kuasa (legal mandatory) dengan demikian wakil kelompok tidak memerlukan surat kuasa khusus[5]
Adapun syarat seseorang dapat dikatakan sebagai wakil kelompok a.n ; memiliki kejujuran dan memiliki kesungguhan melindungi kepentingan anggota kelompok
·           Sedangkan bagi anggota yang menolak dapat dengan tegas menyatakan keluar dari kelompok (opt out) dan kepadanya tidak terikat putusan hakim
2.      Kesamaan fakta atau dasar hukum
·     Kesamaan tersebut yang sama antar seluruh anggota dan wakil kelompok.
·     Kesamaan tersebut harus bersifat substansial , yaitu kesamaan fakta atau kesamaan hukum yang dilanggar tergugat.
·           Dimungkinkan terjadinya perbedaan dalam gugatan dan dapat diterima dengan pertimbangan perbedaan tersebut tidak prisipil dan substansial, artinya tidak berbeda dalam kenyataan hukum yang terdapat dalam gugatan. 


3.      Kesamaan tuntutan
Pasal 1 huruf b Perma No. 1 Tahun 2002, berbunyi, “Wakil kelompok adalah satu orang yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya”.
·           Gugatan sebagai formulasi tuntutan merupakan pengejawantahan tujuan penuntutan itu sendiri oleh karena itu jika tujuan suatu penuntutan berbeda dengan yang lainnya maka dapat dikatakan berbeda pula formulasi gugatan.
·     Untuk kepentingan gugatan kelompok, gugatan atau tuntutan harus didasari oleh kesamaan-kesamaan, misal kesamaan kerugian.
·     Dengan adanya kesamaan tersebut memberikan hak bagi anggota kelompok untuk mengajukan tuntutan yang sama pula. Dapat berupa ganti rugi, permintaan maaf, pemulihan kerusakan dll. 
Dalam prosedur gugatan kelompok ini terdapat hal yang dikecualikan yaitu yang berkenaan dengan hak gugat LSM. Melalui UU pengelolaan lingkungan hisup dan perlindungan konsumen LSM sebagai organisasi diberi hak untuk mewakili kepentingan publik dalam hal perlindungan lingkungan dan perlindungan konsumen.
Prosedur pemberian undang-undang ini merupakan pengecualian terhadap prinsip communality dalam arti LSM bukan sebagai pihak yang mengalami kerugian, maka untuk itu LSM harus memenuhi syarat formil sebagai badan hukum atau yayasan, memiliki tujuan yang tegas dan spesifik sesuai anggaran dasarnya. Serta telah menjalankan kegiatan sesuai anggaran dasar sebagai syarat materil, kegiatan mana harus berhubungan langsung dengan bidang sesuai UU (bidang lingkungan hidup atau perlindungan konsumen)

C.      Formulasi Gugatan Kelompok (Class Action)
Mengenai formulasi gugatan kelompok merujuk pada ketentuan pasal 3 dan pasal 10 PERMA. Menurut kalimat pertama pasal 3 dikatakan persyaratan-persyaratan formal gugatan kelompok: [6]
1.      Tetap tunduk kepada ketentuan yang diatur dalam HUkum Acara Perdata dalam hal ini HIR dan RBG.
2.      Namun juga harus memenuhi ketentuan yang diatur dalam pasal 3 PERMA. Penerapan yang seperti itu secara umum ditegaskan juga dalam pasal 10 yang berbunyi:
“ Ketentuan-ketentuan lain yang telah diatur dalam Hukum Acara Perdata tetap berlaku, disamping ketentuan-ketentuan dalam PERMA ini.
Sehubungan dengan hal itu ada dua sisi formulasi gugatan yang perlu diperhatikan agar gugatan kelompok yang diajukan tidak cacat formil.
1.        Persyaratan Umum Berdasarkan Hukum Acara
Sebenarnya jika diperhatikan ketentuan Pasal 3 PERMA hampir terdapat persamaan syarat-syarat formulasi gugatan dengan yang diatur dlam HIR atau RBG. Namun demikian, untuk mendapat gambaran yang jelas akan dikemukakan secara ringkas deskripsinyasebagai berikut.
a.         Mencantumkan dan mengalamatkan gugatan bedasarkan kompetensi relatif (yurisdiksi relatif) sesuai dengan sistem dan Patoka yang digariskan Pasal 118 HIR
b.         Mencantumkan tanggal pada gugatan meskipun pencatuman itu tidak diatur secara tegas, namun dalam praktik peradilan telah dianggap sebagai salah satu syarat formulasi gugatan, meskipun tidak imperative.
c.         Gugatan ditandatangani penggugat atau kuasanya
·         Tanda tangan ditulis dengan tangan sendiri, tanpa inisial nama penanda tangan
·         Boleh berbentuk cap jempol berdasarkan st. 1919-776 apabila penggugat tidak pandai menulis
d.        Menyebut identitas para pihak yang terdiri dari minimal seperti yang diatur dalam pasal 118 ayat (1) HIR:
·         Nama lengkap dan alias jika ada.
·         Alamat atau tempat tinggal
e.         Menyampaikan Fundamentum Petendi yang terdiri dari
·         Dasar Hukum gugatan (rechtlijke grands) dan
·         Dasar fakta gugatan (feitelijke grands)
f.          Memuat Petitum Gugatan
·         Bisa berbentuk deskripsi tunggal
·         Boleh juga berbentuk alternative atau subsidiairy yang masing-masing dideskripsi atau berbentuk subsidair dalam bentuk ex-aequo et=bono
2.        Persyaratan Khusus Berdasarkan pasal 3 PERMA
Seperti yang dikatakan diantara syarat umum yang diatur dalam hukum acara, ada yang sama dengan ketentuan yang disebut pada pasal 3 PERMA.Namun demikian, persyaratan itu akan dideskripsi satu persatu, yang terdiri dari:
a.         Identitas lengkap dan jelas wakil kelompok
b.         Definisi Kelompok secara rinci dan spesifik, walaupun tamnpa menyebut nama anggota kelompok satu persatu
c.         Keterangan tentang anggota kelompok yang diperlukan dalam kaitan dengan kewajiban melakukan pemberitahuan
d.        Posita dari seluruh kelompok, baik wakil kelompok maupun anggota kelompok yang teridentifikasi maupun yang tidak teridentifikasi dikemukakan secara jelas dan rinci.
e.         Penegasan tentang beberapa bagian kelompok atau subkelompok
f.          Tuntutan atau petitum tentang ganti rugi


D.      Prosedur Acara Gugatan Kelompok
Prosedur beracara dalam gugatan kelompok ini berdasarkan ketentuan perma tetap tunduk pada ketentuan yang diatur dalam hukum acara perdata HIR dan RBG [7] Secara umum syarat gugatan kelompok dapat dibagi 2 (dua) :
1.      Persyaratan umum berdasarkan hukum acara perdata.
Mulai dari formulasi gugatan dan proses pemeriksaan selanjutnya sesuai dengan apa yang diatur dalam hukum acara perdata pada lazimnya (HIR/RBg).
2.      Persyaratan khusus berdasarkan Perma
Dalam formulasi gugatan harus memuat ; identitas lengkap wakil kelompok, definisi kelompok secara rinci dan spesifik, keterangan tentang anggota kelompok (untuk pemberitahuan), posita dari seluruh anggota kelompok berikut wakilnya (dikemukakan dengan jelas dan rinci), penegasan perihal bagian atau sub kelompok, tuntutan ganti rugi.

Dalam proses pemeriksaan :
1.      dapat dilakukan pemeriksaan awal, merupakan pemeriksaan syarat formil gugatan kelompok. Perihal adanya kelompok, wakil yang sah, adanya kesamaan fakta atau dasar hukum dan terdapat kesamaan jenis tuntutan.
2.      Hakim dapat memberi nasihat sebelum melanjutkan pemeriksaan[8]
3.      Penetapan hasil pemeriksaan awal [9], gugatan kelompok apabila memenuhi syarat-syarat maka hakim membuat penetapan untuk melanjutkan pemeriksaan dan sebaliknya. Pemeriksaan dilanjutkan sesuai ketentuan hukum acara perdata.

Jadi proses beracara melalui prosedur gugatan kelompok ini singkatnya ;
1.      Gugatan dimasukkan ke pengadilan negeri bersangkutan ditujukan kepada ketua pengadilan negeri
2.      Dilakukan upaya perdamaian, Pasal 6 Perma.
“Hakim berkewajiban mendorong para pihak untuk menyelesaikan perkara dimaksud melalui perdamaian, baik pada awal persidangan maupun selama berlangsungnya pemeriksaan perkara”.
Jika terjadi perdamaian dituangkan dalam putusan perdamaian[10] dan putusan berkekuatan hukum tetap.
3.      Pemeriksaan awal, dilakukan untuk memeriksa syarat-syarat formil gugatan.
4.      Hakim dapat memberikan nasihatnya sebelum melanjutkan pemeriksaan berkenaan dengan kelengkapan syarat-syarat formil sebagaimana yang diatur dalam pasal 3 Perma[11]
5.      Pemeriksaan melalui acara biasa.
6.      Putusan.
Kemudian terhadap segala apa yang terjadi selama proses pemeriksaan wajib diberitahukan kepada anggota kelompok (pasal 5 ayat 3 Perma). 




BAB III
PENUTUP.

·           Kesimpulan
Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action) didefinisikan sebaga suatu prosedur pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus meakili kelompok orang yang jumlahnya banyak, memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum anatara wakil kelompok dan anggota kelompoknya
Prinsip dan syarat gugatan kelompok (class action)
1.      Adanya sekelompok orang
2.      Adanya kesamaan fakta dan hukum
3.      Adanya kesamaan tuntutan





DAFTAR PUSTAKA

Black, Henry Campbell. 1991. Black’s Law Dictionary. St. Paul Minnesofa: West Publishing
Harahap, M. Yahya. 2012. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika

              . Hukum Acara Perdata. Jakarta: Grafiti
Nugroho, Susanti Adi. 2010. Class Actin & Perbandingannya dengan negara lain. Jakarta: Kencana Prenada Media
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 tahun 2002
Diunduh pada halaman web http://sites.google.com/site/anjazhilman/ Minggu, 15 Maret 2015 pukul 13.00




[1] Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, (West Publishing Co., St. Paul Minnesota , 1991) hlm. 170
[2] Pasal 1 huruf a PERMA No. 1 Tahun 2002
[3] Susanti Adi Nugroho, Praktik Gugatan Perwakila Kelompok (class action) di Indonesia, Penerbit Mahkamah Agung RI Tahun 2002, hlm. 5 dan 6
[4] Harahap, yahya, Hukum Acara Perdata, Grafiti, Jakarta.hlm. 23
[5] Pasal 4 Perma No. 1 Tahun 2002.
[6] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata,(Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 152
[7] Pasal 10 Perma No. 1 Tahun 2002, berbunyi, “Ketentuan –ketentuan yang telah diatur dalam hukum acara perdata tetap berlaku, di samping ketentuan-ketentuan dalam PERMA ini".
[8] Pasal 5 (a) 2 Perma No. 1 Tahun 2002
[9] Pasal 5 (a) 3 dan 4 Perma No. 1 Tahun 2002
[10] Pasal 10 Perma No. 1 Tahun 2002 jo. Pasal 130 HIR.
[11] Pemeriksaan ini serupa dengan prosedur dismissal proses dalam acara TUN.