Friday, January 29, 2016

Tindak Kejahatan dalam Lembaga Keuangan Non Bank



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Perkembangan pergaulan dalam bernegara tidak hanya memberi dampak positif tapi juga memberi dampak negatif. Keduanya harus dapat dihadapi melalui instrumen hukum, pengaruh yang bersifat negatif merupakan hambatan atau kendala yang dihadapi negara untuk mencapai tujuannya. Misalnya adalah kejahatan di bidang perpajakan dan kepabeanan yang dapat memepengaruhi keuangan negara dan menghambat terciptana kesejahteraan.
Pengertian kejahatan di bidang perpajakan dan kepabeanan dapat ditinjau dari aspek yuridis, sosiologis, dan filosofis ketiga aspek ini perlu dicermati secara mendetail sebelum melangkah pada tahap subtansi kejahatan itu sendiri.

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, dapat ditarik permsalahn diantaranya,
1.    Apa yang dimaksud tindak pidana perpajakan?
2.    Apa yang dimaksud tindak pidana kepabeanan?

C.  Tujuan
1.    Mengetahui yang dimaksud tindak pidana perpajakan
2.    Mengetahui yang dimaksud tindak pidana kepabeanan




BAB II
PEMBAHASAN

A.  Tindak Pidana Perpajakan
Tindak Pidana Perpajakan adalah suatu kejahatan atau pelanggaran terhadap kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.[1]
Menurut Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar membagi kejahatan pajak menjadi empat (4) bagian, yaitu :[2]
1.    Kejahatan oleh Pegawai Pajak
Pegawai pajak adalah setiap orang dalam kedudukannya sebagai pegawai negeri sipil yang dipekerjakan pada kantor Direktorat Jenderal Pajak dalam lingkungan Kementrian Keuangan. Pegawai pajak dalam melaksanakan tugas tidak boleh melanggar hukum, khususnya hukum pajak karena merupakan tanggung jawab yang dipercaya oleh negara. Namun tugas lain berupa pencerminan dari sumpah/janji yang di ucapkan pada saat pelantikan
Secara tegas, kejahatan di bidang perpajakan yang dilakukan oleh pegawai pajak diatur pada pasal 36A UUKUP. Ketentuan ini terdiri dari empat ayat dengan memuat jenis kejahatan yang berbeda satu sama lainnya. Perbedaan itu bertujuan memberikan klasifikasi berbagai kejahatan yang dilakukan oleh pegawai pajak ketika melaksanakan ketentuan peratuan perundang – undangan perpajakan. Adapun jenis kejahatan itu adalah :
a.    Menghitung atau menetapkan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan perpajakan;
b.    Bertindak di luar kewenangannya;
c.    Melakukan pemerasan dan pengancaman; dan
d.   Penyalahgunaan kekuasaan.
2.    Kejahatan oleh Wajib Pajak
Pasal 1  (2) UUKUP secara tegas menentukan bahwa “wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayaran pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakn sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”. Pada hakikatnya, wajib pajak tidak boleh terlepas dari konteks perorangan agar tetap dalam kedudukannya sebagai pribadi. Sementara itu badan sebagai wajib pajak adalah sekumpulan orang dan/modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidakmelakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas dan perseroan lainnya. Wajib pajak pada hakikatnya adalah subjek hukum yang wajib menaati hukum pajak. Wajib pajak berdasarkan Pasal 1 (2) UUKUP terdiri dari :
a.    Pembayar pajak;
b.    Pemotong pajak;
c.    Pemungut pajak.
Landasan hukum bagi kejahatan di bidang perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak tetuju pada pasal 38, pasal 39, pasal 39 A, pasal 41 A, pasal 41B dan pasl 41C UUKUP. Ketika dicermati ketentuan tersebut, ternyata wajib pajak melakukan kejahatan di bidang perpajakan dilandasi pada unsur “karena kealpaan” atau “dengan kesengajaan” dan bahkan posisi terbanyak adalah kesengajaan. Hal ini terjadi karena wajib pajak berupaya untuk mengelak atau menghindari diri dari pemenuhan kewajiban tanpa menghiraukan kepentingan negara sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Berbagai jenis kejahatan di bidang yang terkait dengan pemenuhan kewajiban wajib pajak. Sebenarnya, tidak perlu terjadi kejahatan di bidang perpajakan bila wajib pajak memiliki kesadaran hukum tinggi untuk melaksanakan kewajiban teapat pada waktu yang ditentukan dalam peraturan perundang – undangan perpajakan. Hal ini  perlu disadari oleh wajib pajak agar tidak berurusan  dengan pihak – pihak yang diwajibkan menegakan hukum pajak, baik di luar lembaga peradilan pajak maupun di dalam lembaga peradilan pajak. Salah satu jenis kejahatan di bidang perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak adalah :
a.    Tidak Mendaftarkan Diri  atau Melaporkan Usahanya;
b.    Tidak Menyampaikan Surat Pemberitahuan;
c.    Pemalsuan Surat Pemberitahuan;
d.   Menyalahgunakan Nomor Pokok Wajib Pajak;
e.    Menggunakan Tanpa Hak Nomer Pokok Wajib Pajak;
f.     Menyalahgunakan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
g.    Menggunakan Tanpa Hak Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
h.    Menolak untuk Diperiksa;
i.      Memalsuan Pembukuan, Pencatatan, atau Dokumen lain;
j.      Tidak Menelanggarakan Pembukuan atau Pencatatan di Indonesia, Tidak Memperlihatkan atau Tidak Meminjamkan Buku, Catatan, atau Dokumen Lain;
k.    Tidak Menyimpan Buku, Catatan, atau Dokumen yang Menjadi Dasar Pembukuan atau Pencatatan;
l.      Tidak Menyetor Pajak yang Telah Dipotong atau Dipungut;
m.  Menerbitkan dan/atau MenggunakanFaktur Pajak, Bukti Pemungutan Pajak, Bukti Pemotongam Pajak dan/atau Bukti Setoran Pajak;
n.    Menerbitkan Faktur Pajak tetapi Belum Dikukuhakn sebagai Pengusaha Kena Pajak;
o.    Tidak Memberi Aketerangan atau Bukti;
p.    Menghalangi atau Mempersulit Penyelidikan;
q.    Tidak Memenuhi Kewajiban Memberikan Data atau Informasi;
r.     Tidak Terpenuhi Kewajiban Pejabat dan Pihak Lain;
s.      Tidak Memberi Data dan Informasi  Perpajakan;
t.     Menyalahgunakan Data dan Informasi Perpajakan.
3.    Kejahatan oleh Pejabat Pajak
Pejabat  adalah petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan. Petugas pajak berdasarkan pembagian pajak negara dan pajak daerah meliputi petugas pajak negara dan petugas pajak daerah. Kaidah hukum pajak mempersamakan antara petugas pajak dengan tenaga ahli yang ditujuk oleh gubernur atau kepala daerah lainnya untuk membantu pelaksanaan hukum saja. Adapun pihak – pihak yang tergolong sebagai pejabat pajak adalah sebagi berikut :
a.    Direktur jendral pajak;
b.    Direktur jenderal bea dan cukai;
c.    Gubernur kepala daerah;
d.   Bupati/ walikota kepala daerah; dan
e.    Pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan peraturan perundang – undangan perpajakan, seperti kepala kantor pelayanan pajak atau kepala dinas pendapatan daerah;
f.     Tenaga ahli yang ditunjuk oleh direktur jenderal pajak atau kepala daerah.
Kejahatan di bidang perpajakan yang dilakukan oleh pejabat pajak sangat terkait dengan rahasia perpajakan dari wajib pajak. Berhubung karena, pejabat pajak memiliki kewajiban untuk merahasiakan rahasia perpajakan dari wajib pajak yang telah diketahuinya. Kewajiban ini terlanggar karena kealpaan atau dengan kesengajaan dilakukannya kejahatan untuk itu. Hal tersebut dilandasi pada Pasl 41 ayat (1) dan ayat (2) UUKUP. Namun, kejahatan ini dikategorikan ke dalam delik aduan, karena menurut Pasal 41 ayat (3) UUKUP terlebih dahulu harus diadukan agar boleh dilakukan penuntutan.
Pejabat pajak terikat pada kaidah hukum pajak yang terkait dengan kerahsiaan wajib pajak dalam bentuk kewajiban hukum yang tidak boleh dilanggar. Jika pejabat pajak tidak memenuhi kewajiban itu, beralti telah melakukan kejahtan di bidang perpajakan. Kejahatan dilaukan oleh pejabat pajak adalah :
a.    Tidak memenuhi kewajiban merahasiakan rahasia wajib pajak;
b.    Tidak dipenuhi kewajiban merahasiakan rahasia wajib pajak.
4.    Kejahatan oleh Pihak Lain
Bukan hanya pegawai pajak, wajib pajak, dan pejabat pajak, tetapi pihak lain dapat pula melakukan kejahatan di bidang perpajakan. Kejahatan yang dilakukan itu sangat terkait dengan pelaksanaan kewajiban wajib pajak sebagaimana yang telah ditentukan dalam hukum pajak. Pihak lain bukan merupakan satu kesatuan yang menyatu dengan pegawai pajak, wajib pajak, dan pejabat pajak, melainkan berada dalam kedudukan yang terpisah. Pihak lain meliputi pegawai wajib pajak, wakil, kuasa hukum, konsultan pajak, akuntan publik, dan profesi lain seperti, notaris, pejabat pembuat akta tanah, dan dokter.
Pihak lain sebagai pihak yang melakukan kejahatan di bidang perpajakan, ketentuannya secara tegas diatur pada Pasal 43 UUKUP;
(1)    Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A, berlaku juga bagi wakil, kuasa, pegawai dari wajib pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
(2)     Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 41A dan Pasa141B berlaku jugs bagi yang menyuruh melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajak
Jika dicermati kedua ayat dalam Pasal 43 UUKUP tersebut, ternyata terdapat perbedaan prinsipil keikutsertaan pihak lain dalam melakukan kejahatan yang terfokus pada delik pajak. Pada ketentuan Pasal 34 ayat (1) UUKUP mengenal tiga bentuk keikutsertaan pihak lain, yaitu: 1) menyuruh melakukan kejahatan, 2) turut serta melakukan kejahatan, 3) menganjurkan melakukan kejahatan, dan 4) membantu melakukan kejahatan yang dikategorikan sebagai delik pajak. Sementara itu, ketentuan pada Pasal 43 ayat (2) UUKUP tersebut, hanya mengatur tiga bentuk keikutsertaan pihak lain yaitu: 1) menyuruh melakukan kejahatan, 2) yang menganjurkan melakukan kejahatan, dan 3) yang membantu melakukan kejahatan yang dikategorikan sebagai delik pajak.
Subtransi  hukum ang terkandung dlam Pasal 43 UUKUP ternyata pihak lain berada dalam kedudukan sebagai “peserta” atau “penyertaan”. Dalam kaitan ini Wirjono Prodjodikoro berpendapat kata “peserta” beralti turut serta seorang atau lebih pada waktu orang lain melaukan tindakan pidana (Wirjono Prodjodikoro). Pada hakikatna, pihak lain yang berada dalam delik pajak bukan merupakan pelaku (dader) yang mewujudkan delik itu melainkan berada pada kedudukan yang mewujudkan delik itu seperti :
a.    Menyuruh Melakukan;
b.    Turut Melakukan; 
c.    Menganjurkan Melakukan;
d.   Membantu Melakukan

B.  Tindak Pidana Kepabeanan
Tindak Pidana Kepabeanan adalah kejahatan atau pelanggaran terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean serta pemungutan bea masuk dan bea keluar.
Dilihat dari penggolongan delik pidana, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 membagi secara jelas perumusan tindak pidana menjadi dua, yaitu pelanggaran dan Tindak Pidana (Kejahatan) Kepabeanan. Lebih spesifik lagi Tindak Pidana Kepabeanan dirinci menjadi Tindak Pidana Penyelundupan sebagaimana dimaksud dalam pasal 102 dan Tindak Pidana Kepabeanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 103. Tindak pidana lain yang dapat disamakan dengan Tindak Pidana umum dapat dilihat dalam pasal 104 sampai dengan pasal 109.[3]
1.    Pelanggaran
Undang-Undang Kepabeanan tidak memberi batasan atau pengertian tentang pelanggaran namun dari ketentuan pada beberapa pasal yang ada telah menegaskan beberapa kewajiban yang harus ditaati oleh Pengguna Jasa Kepabeanan, mulai dari Pengangkut, Importir, Eksportir, Pengusaha Gudang Berikat atau ‘barang siapa’ yang secara hukum kepabeanan diwajibkan melakukan sesuatu untuk memenuhi kewajiban pabean. Pengingkaran terhadap kewajiban-kewajiban kepabeanan tersebutlah yang secara umum diterima sebagai pelanggaran dengan penegasan sanksi yang akan diberikan terhadap pelanggaran kewajiban kepabeanan tersebut.
Beberapa pasal mengatur kewajiban tersebut seperti kewajiban Pengangkut yang diatur dalam pasal 7, pasal 11, pasal 90, dan pasal 92, kewajiban importir pada pasal 8 dan pasal 9, kewajiban Eksportir pada pasal 10, kewajiban Pengusaha Tempat Penimbunan Berikat pada pasal 43, pasal 44 dan pasal 45, serta beberapa kewajiban Pengguna Jasa Kepabeanan lainnya.
Pelanggaran terhadap kewajiban tersebut pada dasarnya diatur dalam pasal 82 yang mempertegas sanksi yang wajib dibayar sesuai dengan tingkat kesalahannya. Pengaturan tersebut ditujukan untuk menguji kepatuhan para pengguna jasa sehingga diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan dalam menyelesaikan kewajiban pabean dan membayar kewajiban Bea Masuk dan pungutan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI). Pengaturan ini menganut azas yang lazim dikenal dengan strict compliance rule dimana setiap pasal mengatur secara tegas kewajiban dan sanksi yang timbul akibat ketidakpatuhan.
2.    Tindak Pidana Penyelundupan
Pasal 102 UU Nomor 10 Tahun 1995 menyebutkan bahwa “barangsiapa yang mengimpor atau mencoba mengimpor atau mengekspor barang tanpa mengindahkan ketentuan Undang-Undang ini dipidana karena melakukan penyelundupan dengan pidana penjara paling lama delapan tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
Kemudian, penjelasan pasal ini menambahkan bahwa “yang dimaksud dengan tanpa mengindahkan ketentuan Undang-Undang ini adalah sama sekali tidak memenuhi ketentuan atau prosedur sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang ini”.
Pasal dan penjelasan ini menimbulkan perdebatan tentang pengertian penyelundupan karena telah terjadi perbedaan penafsiran yang cukup mendasar, baik oleh Pengguna Jasa maupun oleh masyarakat. Pengertian penyelundupan dalam pasal ini bersifat membatasi sehingga oleh banyak pihak dirasakan tidak memenuhi rasa keadilan. Hal ini terjadi karena di sebahagian masyarakat telah memberikan pengertian yang sangat luas terhadap penyelundupan. Masyarakat menilai bahwa setiap pelanggaran kepabeanan merupakan tindak pidana penyelundupan, sementara dalam international best practices in customs matters secara spesifik membedakan antara penyelundupan (smuggling) dengan tindak pelanggaran lainnya yang lazim disebut sebagai Customs Fraud.
Bahkan sebagian besar anggota masyarakat telah mencampur-adukkan pengertian penyelundupan ini, tidak saja dalam bidang ekspor dan impor, bahkan kesalahan dalam pengiriman perdagangan antar pulau pun dimasukkan dalam pengertian penyelundupan.
Pembedaan pengertian antara penyelundupan dengan pelanggaran pabean lainnya ini menimbulkan pula pembedaan hukuman yang secara tegas dimana setiap kasus penyelundupan dipidana dengan pidana penjara, sementara pelanggaran kepabeanan diselesaikan dengan pemberian sanksi yang tegas sesuai dengan azas strict compliance rule yang telah lazim dilaksanakan.
Dalam praktek kepabeanan internasional, pembedaan tersebut merupakan hal yang sudah baku sehingga secara tegas dalam penjelasan Undang-Undang ini dinyatakan sebagai salah satu aspek yang sangat diperhatikan dalam pembentukannya.
3.    Tindak Pidana Kepabeanan Lainnya
Disamping pidana pelanggaran dan penyelundupan, tindak pidana di bidang kepabeanan juga terdapat dalam pasal 103, pasal 104, pasal 105, pasal 106, pasal 107, pasal 108, dan pasal 109.
Pasal 103 juga merupakan pasal yang mengatur Pidana Kepabeanan, dimana tindak pidana kepabeanan dalam pasal ini meliputi :
a.    Menyerahkan pemberitahuan pabean dan atau dokumen pelengkap pabean dan atau memberikan keterangan lisan atau tertulis PALSU yang digunakan untuk pemenuhan kewajiban pabean.
b.    Mengeluarkan barang impor dari kawasan pabean atau dari tempat penimbunan berikat tanpa persetujuan Pejabat Bea dan Cukai dengan maksud mengelakkan pembayaran Bea Masuk dan atau pungutan negara lainnya dalam rangka impor,
c.    Membuat, menyimpan, atau turut serta dalam penambahan data palsu ke dalam buku atau catatan, atau
d.   Menimbun, menyimpan dan sebagainya barang impor yang berasal dari tindak pidana penyelundupan.
Dari keempat jenis tindak pidana kepabeanan ini secara jelas dapat terlihat mengatur khusus pelanggaran atas kewajiban kepabeanan yang sangat berbeda dengan Pasal-pasal pelanggaran.
 


  
BAB III
PENUTUP

Tindak Pidana Perpajakan adalah suatu kejahatan atau pelanggaran terhadap kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
Tindak Pidana Kepabeanan adalah kejahatan atau pelanggaran terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean serta pemungutan bea masuk dan bea keluar.



DAFTAR PUSTAKA

Saidi, Muhammad Djafar dan Eka Merdekawati Djafar.Kejahatan Di Bidang Perpajakan, Cetakan Pertama.Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.2011.
UU no. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan dan TataCara Perpajakan
UU No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan



[1] Pasal 1 UU no. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan dan TataCara Perpajakan
[2] Muhammad Djafar Saidi, Eka Merdekawati Djafar, Kejahatan Di Bidang Perpajakan, Cetakan Pertama,( Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada,2011),37.
[3] Pasal 102-109 UU No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan