BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Perkembangan
pergaulan dalam bernegara tidak hanya memberi dampak positif tapi juga memberi
dampak negatif. Keduanya harus dapat dihadapi melalui instrumen hukum, pengaruh
yang bersifat negatif merupakan hambatan atau kendala yang dihadapi negara
untuk mencapai tujuannya. Misalnya adalah kejahatan di bidang perpajakan dan kepabeanan yang
dapat memepengaruhi keuangan negara dan menghambat terciptana kesejahteraan.
Pengertian
kejahatan di bidang perpajakan dan kepabeanan dapat ditinjau dari aspek yuridis, sosiologis,
dan filosofis ketiga aspek ini perlu dicermati secara mendetail sebelum
melangkah pada tahap subtansi kejahatan itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, dapat ditarik permsalahn
diantaranya,
1. Apa yang dimaksud
tindak pidana perpajakan?
2. Apa yang dimaksud
tindak pidana kepabeanan?
C. Tujuan
1. Mengetahui yang
dimaksud tindak pidana perpajakan
2. Mengetahui yang
dimaksud tindak pidana kepabeanan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tindak Pidana
Perpajakan
Tindak Pidana Perpajakan adalah suatu
kejahatan atau pelanggaran terhadap kontribusi
wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.[1]
Menurut Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati
Djafar membagi kejahatan pajak menjadi empat (4) bagian, yaitu :[2]
1. Kejahatan oleh Pegawai Pajak
Pegawai
pajak adalah setiap orang dalam kedudukannya sebagai pegawai negeri sipil yang
dipekerjakan pada kantor Direktorat Jenderal Pajak dalam lingkungan Kementrian Keuangan.
Pegawai pajak dalam melaksanakan tugas tidak boleh melanggar hukum, khususnya
hukum pajak karena merupakan tanggung jawab yang dipercaya oleh negara. Namun
tugas lain berupa pencerminan dari sumpah/janji yang di ucapkan
pada saat pelantikan
Secara
tegas, kejahatan di bidang perpajakan yang dilakukan oleh pegawai pajak diatur
pada pasal 36A UUKUP. Ketentuan ini terdiri dari empat ayat dengan memuat jenis
kejahatan yang berbeda satu sama lainnya. Perbedaan itu bertujuan memberikan
klasifikasi berbagai kejahatan yang dilakukan oleh pegawai pajak ketika
melaksanakan ketentuan peratuan perundang – undangan perpajakan. Adapun jenis
kejahatan itu adalah :
a. Menghitung atau menetapkan pajak yang tidak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan perpajakan;
b. Bertindak di luar kewenangannya;
c. Melakukan pemerasan dan pengancaman; dan
d. Penyalahgunaan kekuasaan.
2. Kejahatan oleh Wajib Pajak
Pasal 1 (2) UUKUP secara tegas menentukan
bahwa “wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayaran
pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang
mempunyai hak dan kewajiban perpajakn sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan”. Pada
hakikatnya, wajib pajak tidak boleh terlepas dari konteks perorangan agar tetap
dalam kedudukannya sebagai pribadi. Sementara itu badan sebagai wajib pajak
adalah sekumpulan orang dan/modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan
usaha maupun yang tidakmelakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas dan
perseroan lainnya. Wajib pajak pada hakikatnya adalah subjek hukum yang wajib
menaati hukum pajak. Wajib pajak berdasarkan Pasal 1 (2) UUKUP terdiri dari :
a. Pembayar pajak;
b. Pemotong pajak;
c. Pemungut pajak.
Landasan
hukum bagi kejahatan di bidang perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak
tetuju pada pasal 38, pasal 39, pasal 39 A, pasal 41 A, pasal 41B dan pasl 41C
UUKUP. Ketika dicermati ketentuan tersebut, ternyata wajib pajak melakukan
kejahatan di bidang perpajakan dilandasi pada unsur “karena kealpaan” atau
“dengan kesengajaan” dan bahkan posisi terbanyak adalah kesengajaan. Hal ini
terjadi karena wajib pajak berupaya untuk mengelak atau menghindari diri dari
pemenuhan kewajiban tanpa menghiraukan kepentingan negara sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Berbagai
jenis kejahatan di bidang yang terkait dengan pemenuhan kewajiban wajib pajak.
Sebenarnya, tidak perlu terjadi kejahatan di bidang perpajakan bila wajib pajak
memiliki kesadaran hukum tinggi untuk melaksanakan kewajiban teapat pada waktu
yang ditentukan dalam peraturan perundang – undangan perpajakan. Hal ini
perlu disadari oleh wajib pajak agar tidak berurusan dengan pihak – pihak
yang diwajibkan menegakan hukum pajak, baik di luar lembaga peradilan pajak
maupun di dalam lembaga peradilan pajak. Salah satu jenis kejahatan di bidang
perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak adalah :
a. Tidak Mendaftarkan Diri atau Melaporkan
Usahanya;
b. Tidak Menyampaikan Surat Pemberitahuan;
c. Pemalsuan Surat Pemberitahuan;
d. Menyalahgunakan Nomor Pokok Wajib Pajak;
e. Menggunakan Tanpa Hak Nomer Pokok Wajib Pajak;
f. Menyalahgunakan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
g. Menggunakan Tanpa Hak Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak;
h. Menolak untuk Diperiksa;
i. Memalsuan Pembukuan, Pencatatan, atau Dokumen
lain;
j. Tidak Menelanggarakan Pembukuan atau Pencatatan
di Indonesia, Tidak Memperlihatkan atau Tidak Meminjamkan Buku, Catatan, atau
Dokumen Lain;
k. Tidak Menyimpan Buku, Catatan, atau Dokumen yang
Menjadi Dasar Pembukuan atau Pencatatan;
l. Tidak Menyetor Pajak yang Telah Dipotong atau
Dipungut;
m. Menerbitkan dan/atau MenggunakanFaktur Pajak,
Bukti Pemungutan Pajak, Bukti Pemotongam Pajak dan/atau Bukti Setoran Pajak;
n. Menerbitkan Faktur Pajak tetapi Belum Dikukuhakn
sebagai Pengusaha Kena Pajak;
o. Tidak Memberi Aketerangan atau Bukti;
p. Menghalangi atau Mempersulit Penyelidikan;
q. Tidak Memenuhi Kewajiban Memberikan Data atau
Informasi;
r. Tidak Terpenuhi Kewajiban Pejabat dan Pihak
Lain;
s. Tidak
Memberi Data dan Informasi Perpajakan;
t. Menyalahgunakan Data dan Informasi Perpajakan.
3. Kejahatan oleh Pejabat Pajak
Pejabat adalah petugas pajak maupun mereka
yang melakukan tugas di bidang perpajakan. Petugas pajak berdasarkan pembagian
pajak negara dan
pajak daerah meliputi petugas pajak negara dan petugas pajak daerah. Kaidah
hukum pajak mempersamakan antara petugas pajak dengan tenaga ahli yang ditujuk
oleh gubernur atau kepala daerah lainnya untuk membantu pelaksanaan hukum saja.
Adapun pihak – pihak yang tergolong sebagai pejabat pajak adalah sebagi berikut :
a. Direktur jendral pajak;
b. Direktur jenderal bea dan cukai;
c. Gubernur kepala daerah;
d. Bupati/ walikota kepala daerah; dan
e. Pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan
peraturan perundang – undangan perpajakan, seperti kepala kantor pelayanan
pajak atau kepala dinas pendapatan daerah;
f. Tenaga ahli yang ditunjuk oleh direktur jenderal
pajak atau kepala daerah.
Kejahatan
di bidang perpajakan yang dilakukan oleh pejabat pajak sangat terkait dengan
rahasia perpajakan dari wajib pajak. Berhubung karena, pejabat pajak memiliki
kewajiban untuk merahasiakan rahasia perpajakan dari wajib pajak yang telah
diketahuinya. Kewajiban ini terlanggar karena kealpaan atau dengan kesengajaan
dilakukannya kejahatan untuk itu. Hal tersebut dilandasi pada Pasl 41 ayat (1)
dan ayat (2) UUKUP. Namun, kejahatan ini dikategorikan ke dalam delik aduan,
karena menurut Pasal 41 ayat (3) UUKUP terlebih dahulu harus diadukan agar
boleh dilakukan penuntutan.
Pejabat
pajak terikat pada kaidah hukum pajak yang terkait dengan kerahsiaan wajib
pajak dalam bentuk kewajiban hukum yang tidak boleh dilanggar. Jika pejabat
pajak tidak memenuhi kewajiban itu, beralti telah melakukan kejahtan di bidang
perpajakan. Kejahatan dilaukan oleh pejabat pajak adalah :
a. Tidak memenuhi kewajiban merahasiakan rahasia
wajib pajak;
b. Tidak dipenuhi kewajiban merahasiakan rahasia
wajib pajak.
4. Kejahatan oleh Pihak Lain
Bukan hanya pegawai pajak, wajib pajak, dan
pejabat pajak, tetapi pihak lain dapat pula melakukan kejahatan di bidang
perpajakan. Kejahatan yang dilakukan itu sangat terkait dengan pelaksanaan
kewajiban wajib pajak sebagaimana yang telah ditentukan dalam hukum pajak.
Pihak lain bukan merupakan satu kesatuan yang menyatu dengan pegawai pajak,
wajib pajak, dan pejabat pajak, melainkan berada dalam kedudukan yang terpisah.
Pihak lain meliputi pegawai wajib pajak, wakil, kuasa hukum, konsultan pajak,
akuntan publik, dan profesi lain seperti, notaris, pejabat pembuat akta tanah, dan
dokter.
Pihak lain sebagai pihak yang melakukan
kejahatan di bidang perpajakan, ketentuannya secara tegas diatur pada Pasal 43
UUKUP;
(1) Ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A, berlaku juga bagi wakil, kuasa, pegawai
dari wajib pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta
melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan.
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 41A dan Pasa141B berlaku jugs bagi yang menyuruh
melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di
bidang perpajak
Jika dicermati kedua ayat dalam Pasal 43 UUKUP
tersebut, ternyata terdapat perbedaan prinsipil keikutsertaan pihak lain dalam
melakukan kejahatan yang terfokus pada delik pajak. Pada ketentuan Pasal 34
ayat (1) UUKUP mengenal tiga bentuk keikutsertaan pihak lain, yaitu: 1)
menyuruh melakukan kejahatan, 2) turut serta melakukan kejahatan, 3)
menganjurkan melakukan kejahatan, dan 4) membantu melakukan kejahatan yang
dikategorikan sebagai delik pajak. Sementara itu, ketentuan pada Pasal 43 ayat
(2) UUKUP tersebut, hanya mengatur tiga bentuk keikutsertaan pihak lain yaitu:
1) menyuruh melakukan kejahatan, 2) yang menganjurkan melakukan kejahatan, dan
3) yang membantu melakukan kejahatan yang dikategorikan sebagai delik pajak.
Subtransi hukum ang terkandung dlam Pasal
43 UUKUP ternyata pihak lain berada dalam kedudukan sebagai “peserta” atau
“penyertaan”. Dalam kaitan ini Wirjono Prodjodikoro berpendapat kata “peserta”
beralti turut serta seorang atau lebih pada waktu orang lain melaukan tindakan
pidana (Wirjono Prodjodikoro). Pada hakikatna, pihak lain yang berada dalam
delik pajak bukan merupakan pelaku (dader) yang mewujudkan delik itu melainkan
berada pada kedudukan yang mewujudkan delik itu seperti :
a.
Menyuruh
Melakukan;
b.
Turut
Melakukan;
c.
Menganjurkan
Melakukan;
d.
Membantu
Melakukan
B. Tindak Pidana
Kepabeanan
Tindak Pidana Kepabeanan adalah kejahatan atau pelanggaran terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas lalu lintas barang yang
masuk atau keluar daerah pabean serta pemungutan bea masuk dan bea keluar.
Dilihat dari penggolongan delik
pidana, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 membagi secara jelas perumusan tindak
pidana menjadi dua, yaitu pelanggaran dan Tindak Pidana (Kejahatan) Kepabeanan.
Lebih spesifik lagi Tindak Pidana Kepabeanan dirinci menjadi Tindak Pidana
Penyelundupan sebagaimana dimaksud dalam pasal 102 dan Tindak Pidana Kepabeanan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 103. Tindak pidana lain yang dapat disamakan
dengan Tindak Pidana umum dapat dilihat dalam pasal 104 sampai dengan pasal
109.[3]
1.
Pelanggaran
Undang-Undang Kepabeanan tidak
memberi batasan atau pengertian tentang pelanggaran namun dari ketentuan pada
beberapa pasal yang ada telah menegaskan beberapa kewajiban yang harus ditaati
oleh Pengguna Jasa Kepabeanan, mulai dari Pengangkut, Importir, Eksportir,
Pengusaha Gudang Berikat atau ‘barang siapa’ yang secara hukum kepabeanan
diwajibkan melakukan sesuatu untuk memenuhi kewajiban pabean. Pengingkaran
terhadap kewajiban-kewajiban kepabeanan tersebutlah yang secara umum diterima
sebagai pelanggaran dengan penegasan sanksi yang akan diberikan terhadap
pelanggaran kewajiban kepabeanan tersebut.
Beberapa pasal mengatur kewajiban
tersebut seperti kewajiban Pengangkut yang diatur dalam pasal 7, pasal 11,
pasal 90, dan pasal 92, kewajiban importir pada pasal 8 dan pasal 9, kewajiban
Eksportir pada pasal 10, kewajiban Pengusaha Tempat Penimbunan Berikat pada
pasal 43, pasal 44 dan pasal 45, serta beberapa kewajiban Pengguna Jasa
Kepabeanan lainnya.
Pelanggaran terhadap kewajiban tersebut
pada dasarnya diatur dalam pasal 82 yang mempertegas sanksi yang wajib dibayar
sesuai dengan tingkat kesalahannya. Pengaturan tersebut ditujukan untuk menguji
kepatuhan para pengguna jasa sehingga diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan
dalam menyelesaikan kewajiban pabean dan membayar kewajiban Bea Masuk dan
pungutan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI). Pengaturan ini menganut azas yang
lazim dikenal dengan strict compliance rule dimana setiap pasal mengatur secara
tegas kewajiban dan sanksi yang timbul akibat ketidakpatuhan.
2.
Tindak Pidana Penyelundupan
Pasal 102 UU Nomor 10 Tahun 1995
menyebutkan bahwa “barangsiapa yang mengimpor atau mencoba mengimpor atau
mengekspor barang tanpa mengindahkan ketentuan Undang-Undang ini dipidana
karena melakukan penyelundupan dengan pidana penjara paling lama delapan tahun
dan denda paling banyak Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
Kemudian, penjelasan pasal ini menambahkan bahwa “yang dimaksud dengan tanpa mengindahkan ketentuan Undang-Undang ini adalah sama sekali tidak memenuhi ketentuan atau prosedur sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang ini”.
Kemudian, penjelasan pasal ini menambahkan bahwa “yang dimaksud dengan tanpa mengindahkan ketentuan Undang-Undang ini adalah sama sekali tidak memenuhi ketentuan atau prosedur sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang ini”.
Pasal dan penjelasan ini menimbulkan
perdebatan tentang pengertian penyelundupan karena telah terjadi perbedaan
penafsiran yang cukup mendasar, baik oleh Pengguna Jasa maupun oleh masyarakat.
Pengertian penyelundupan dalam pasal ini bersifat membatasi sehingga oleh
banyak pihak dirasakan tidak memenuhi rasa keadilan. Hal ini terjadi karena di
sebahagian masyarakat telah memberikan pengertian yang sangat luas terhadap
penyelundupan. Masyarakat menilai bahwa setiap pelanggaran kepabeanan merupakan
tindak pidana penyelundupan, sementara dalam international best practices in
customs matters secara spesifik membedakan antara penyelundupan (smuggling)
dengan tindak pelanggaran lainnya yang lazim disebut sebagai Customs Fraud.
Bahkan sebagian besar anggota
masyarakat telah mencampur-adukkan pengertian penyelundupan ini, tidak saja
dalam bidang ekspor dan impor, bahkan kesalahan dalam pengiriman perdagangan
antar pulau pun dimasukkan dalam pengertian penyelundupan.
Pembedaan pengertian antara
penyelundupan dengan pelanggaran pabean lainnya ini menimbulkan pula pembedaan
hukuman yang secara tegas dimana setiap kasus penyelundupan dipidana dengan
pidana penjara, sementara pelanggaran kepabeanan diselesaikan dengan pemberian
sanksi yang tegas sesuai dengan azas strict compliance rule yang telah lazim
dilaksanakan.
Dalam praktek kepabeanan
internasional, pembedaan tersebut merupakan hal yang sudah baku sehingga secara
tegas dalam penjelasan Undang-Undang ini dinyatakan sebagai salah satu aspek
yang sangat diperhatikan dalam pembentukannya.
3.
Tindak Pidana Kepabeanan Lainnya
Disamping pidana pelanggaran dan
penyelundupan, tindak pidana di bidang kepabeanan juga terdapat dalam pasal
103, pasal 104, pasal 105, pasal 106, pasal 107, pasal 108, dan pasal 109.
Pasal 103 juga merupakan pasal yang
mengatur Pidana Kepabeanan, dimana tindak pidana kepabeanan dalam pasal ini
meliputi :
a.
Menyerahkan pemberitahuan pabean dan atau dokumen pelengkap pabean
dan atau memberikan keterangan lisan atau tertulis PALSU yang digunakan untuk
pemenuhan kewajiban pabean.
b.
Mengeluarkan barang impor dari kawasan pabean atau dari tempat
penimbunan berikat tanpa persetujuan Pejabat Bea dan Cukai dengan maksud
mengelakkan pembayaran Bea Masuk dan atau pungutan negara lainnya dalam rangka
impor,
c.
Membuat, menyimpan, atau turut serta dalam penambahan data palsu ke
dalam buku atau catatan, atau
d.
Menimbun, menyimpan dan sebagainya barang impor yang berasal dari
tindak pidana penyelundupan.
Dari
keempat jenis tindak pidana kepabeanan ini secara jelas dapat terlihat mengatur
khusus pelanggaran atas kewajiban kepabeanan yang sangat berbeda dengan
Pasal-pasal pelanggaran.
BAB III
PENUTUP
Tindak Pidana Perpajakan adalah suatu
kejahatan atau pelanggaran terhadap kontribusi
wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat
Tindak Pidana Kepabeanan
adalah kejahatan atau pelanggaran terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas lalu lintas barang yang
masuk atau keluar daerah pabean serta pemungutan bea masuk dan bea keluar.
DAFTAR PUSTAKA
Saidi, Muhammad Djafar dan Eka Merdekawati Djafar.Kejahatan Di Bidang
Perpajakan, Cetakan Pertama.Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.2011.
UU no. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan dan TataCara Perpajakan
UU No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan