Thursday, September 24, 2015

Biografi Ayatullah Ruhullah Khomeini





Ayatullah Ruhullah Khomeini lahir di Khomein pada 24 oktober 1902. Khomein merupakan dusun yang berada di Iran Tengah. Keluarga Khomeini adalah keluarga Sayyid Musawi, keturunan nabi melalui jalur Imam Musa al-Kazhim, Meeka berasa lari Neisyabur, Iran Timur Laut. Pada awal abad ke 19, keluarga ini bermigrasi ke India, dan bermukim di kota kecil Kintur di dekat Lucknow di Kerajaan Qudh.
Kakek Imam Khomeini yang bernama Sayyid Ahmad Musawi Hindi, lahir di Kintur. Keluarga kakeknya adalah keluarga ulama terkemuka, Mir Hamed Husein Hindi Neisyaburi, yang karyanya Abaqat al-Anwar, jadi kebanggaan umat muslim di India. Sayyid Ahmad meninggalkan India pada sekitar tahun 1830 untuk berziarah ke Kota suci Najaf, Irak. Di Najaf, ia bertemu seorang saudagar terkemuka dari Khomein. Menerima undangan sang saudagar Sayyid Ahmad lalu pergi ke Khomein untuk jadi pembimbing spiritual di dusun itu.
Di Khomein Sayyid Ahmad menikah dengan Sakinah, putrid tuan rumahnya. Pasangan ini dikaruniai empat anak, antara lain, Sayyid Mustafa yang lahir pada 1856. Sayyid Mustafa belajar di Najaf, dibawah bimbingan Mirza Hasan Syirazi, kemudian pada 1894 kembali ke Khomein. Disana dia menjadi ulama dan dikaruniai enam anak. Imam Khomeini adalah yang bungsu. Ketika Imam masih berusi Sembilan bulan, ayahnya dibunuh karena menentang Dinasti Qajar.
Semasa kecil, Imam Khomenini mulai belajar bahasa Arab, syair Persia, dan Kaligrafi di sekolah negeri dan di maktab. Menjelang dewasa Imam Khomeini ulai belajar agama dengan lebih serius. Ketika berusia lima belas tahun, dia mulai belajar tata bahasa Arab  kepada saudaranya. Murtaza, yang belajar bahasa Arab dan teologi di Isfahan. Pada usia tujuh belas tahun Imam Khomeini pergi ke Arak, kota dekat Isfahan untuk belajar dari Syekh Abdul Karim Haeri Yazdi, seorang ulama yang terkemuka yang meninggalkan Karbala untuk menghindari pergolakan politik. Sikap ini kemudian mendorong kebanyakan ulama terkemuka untuk menyatakan penentangannya kepada pemerintahan Inggris.
Setelah runtuhnya imperium Utsmaniah, Syekh Haeri enggan tingal di kota-kota yang ada di bawah mandat Inggris. Ia kemudian pindah ke Qum. Mam Khomeini lima bulan kemudian mengikuti jejak Syekh Haeri pindah ke Qum. Di tempat yang baru ini Imam Khomeini belajar retorika syair dan tata bahasa dari gurunya yang bernama Syekh Muhammad Reza Masjed Syahi. Selama belajar di Qum. Imam Khomeini menyelesaikan studi fikih dan ushul dengan seorang guru dari Kasyan, yang sebelas tahun lebih tua darinya, yaitu Ayatullah Alio Yasrebi.
Pada awal tahun 1930-an, dia menjadi mujtahid dan menerima ijazah untuk menyampaikan hadis dari empat guru terkemuka. Yang pertama dari keempat guru itu adalah Syekh Muhsin Amin Ameli, seorang ulama terkemuka dari Lebanon. Yang kedua adalah Syekh Abbas Qummi, ahli hadis dan sejarawan terkemuka. Qummi adalah penulis bukum Mafatih al-Jinan (kunci surga). Guru ketiganya adalah Abul Qosim Dehkordi Isfahani, seorang mullah terkemuka di Isfahan. Guru keempatnya adalah Muhammad Reza Masjed Syahi, yang datang ke Qum pada tahun 1925 karena rotes menentang kebijakan Syah Reza yang anti islam.
Pada usia 27 tahun, Imam Khomeini menikah dengan Syarifah Batul, putri dari seorang Ayatullah yang bermukim di Teheran. Mereka dikaruniai 5 orang anak, 2 putra dan 3 putri.
Imam Khomeini wafat pada tanggal 3 Juni 1989 degan memberikan keyakinan kepada suat kaum Muslim di seluruh dunia.bahwa ajaran islam merupakan ajaran yang mampu menuntun manusia menuju kebenaran. Memang, peranan, dan kharismanya dalam islam modern. Dan sejarah Iran tak dapat disangkal. Semoga harapan dan cita-citanya dapat menjadi kenyataan dalam sejarah umat Islam di dunia. 

Monday, August 31, 2015

Sejarah Aliran Politik dalam Islam

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Siyasah Syar’iyyah adalah urusan kemanusiaan saja yang tidak ada pengaturannya dalam Nash, akan tetapi tetap pada prinsip-prinsip hukum Islam dalam Nash.
Manusia pasti membutuhkan pengurusan, kekuasaan, pengawasaan, dan pemimpin yang melahirkan kesejahteraan untuk semua masyarakat. Karena tidak ada dalam Nash secara tegas tentang siyasah lahirlah pemikiran-pemikiran politik dari para cendekian  Islam yang berusaha mencari hubungan antara politik dengan Islam.
Seiring waktu setelah Nabi dan Khalifah wafat, perselisihan semakin banyak dan akhirnya melahirkan kelompok-kelompok yang telah mengandung politik tersendiri. Dan dalam kelompok-kelompok itu telah memiliki idealisme masing-masing dalam menentukan siapa yang berhak menjadi pemimpin dan bagaimana syarat-syaratnya.

B.     Rumusan Masalah
  
1.      Apa Pengertian Politik Dalam Islam ?
2.      Sejarah Timbulnya Aliran Politik Dalam Islam?
3.       Sebab Timbulnya Aliran Politik Dalam Islam?

C.     Tujuan
1.      Agar mahasiswa mengetahui pengertian politik dalam islam.
2.      Agar mahasiswa mengetahui sejarah timbulnya aliran politik dalam islam.
3.      Agar mahasiwa mengetahui sebab-sebab timbulnya aliran politik dalam islam.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Politik Dalam Islam
Politik dalam bahasa arabnya di sebut “Siyasah” atau dalam bahasa Inggrisnya “Politics”. Politik itu sendiri berarti cerdik dan bijaksana. Memang dalam pembicaraan sehari-hari kita seakan-akan mengartikan politik sebagai suatu cara yang di pakai untuk mewujudkan tujuan, tetapi sebenarnya para ahli ilmu politik sendiri mengakui bahwa sangat sulit memberikan definisi tentang ilmu politik[1].
Istilah politik yang dimaksud dalam Islam berasal dari kata :
ساس يسوس سياسة yang berarti mengatur, mengendalikan, mengurus dan membuat keputusan, oleh karena itu arti siyasah/politik secara etimologi adalah pemerintahan, pengambilan keputusan, pembuat kebijakan, pengurusan, pengawasan, perekayasan dan lain-lain.
Sedangkan makna istilah, fiqh siyasah atau siyasah al-syar’iyyah diartikan sebagai berikut:
1.      Menurut Ahmad Fathi:
تد بير مصـــالح العباد على وفق الشرع
”Pengurusan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan ketentuan syara” (Ahmad Fathi Bahantsi dalam al-siyasah al-jinaiyyah fi al-syari\’at al-Islamiyah).
Berkenaan dengan batasan tersebut timbul beberapa persoalan. Siapa yang harus merencanakan kebijaksanaan, melaksanakan dan menilai siyasah syar’iyah ? syarat-syarta apa yang harus dipenuhi untuk dapat menduduki jabatan perencana, pelaksana, dan penilai peraturan tersebut?[2]
2.      Abdul Wahab al Khalaf
Siyasah syar’iyyah adalah pengurusan hal-hal yang bersifat umum bagi negara Islam dengan cara yang menjamin perwujudan kemaslahatan dan penolakan kemidlaratan dengan tidak melewati batas-batas syariah dan pokok-pokok syariah yang kully, meskipun tidak sesuai dengan pendapat-pendapat ulama’ mujtahid
Konsep politik tradisional dalam Islam mencakup kepemimpinan dengan penerus Nabi dikenal sebagai khalifah, (Imamah untuk Syiah) pentingnya mengikuti hukum Islam atau Syariah  tugas penguasa untuk mencari Syura atau konsultasi dari mata pelajaran mereka, dan pentingnya menegur adil penguasa tetapi tidak mendorong pemberontakan terhadap mereka. 
Sementara fungsi siyasah syar’iyyah meliputi fungsi pelayanan khidmah dan fungsi pengarahan ishlah, keduanya harus berjalan beriringan dengan rambu-rambu syari’ah yaitu :
·         Dalil-dalil kully (baik yang tertuang dalam Al-Qur’an atau Hadist)
·         Maqashid al-syariah
·         Semangat ajaran, dan
·         Kaidah-kaidah kulliyah fiqhiyah[3]

B.     Sejarah Timbulnya Aliran Politik Dalam Islam

1.      Masa Rasulullah
H.R.  Gibb dalam memandang peran Muhammad setidaknya menggunakan dua periode besar, yakni periode Makkah  dan periode Madinah.
Dalam periode  Makkah,  kedudukan  Muhammad disebutnya sebagai Nabi semata, semisal dengan Isa. Ia tidak pernah memaklumkan sebuah komunitas baru dengan segala prinsip-prinsipnya.  Ia juga  tidak melakukan usaha-usaha proteksi dengan kekuatan senjata meski ia dipojokkan. Tidak  pernah ditemukan  sebuah   konflik politik   yang  besar, yang kemudian memungkinkan terjadinya  perang  antara kaum Muhammad dengan  kaum  Arab  lainnya.
Bahkan dipandang dalam  kehidupan  di Makkah ini, Muhammad sebagai  seorang  Nabi,  seorang yang  egaliter, yang  tidak membedakan  antara  umat beriman dengan tidak beriman. Sedangkan dalam periode Madinah,  fungsi  dan peran kenabian dari Muhammad berpindah menjadi  fungsi seorang raja.   Dalam pandangan Gibb,   Muhammad menempatkan dirinya  sebagai seorang pemimpin Islam dari  komunitas masyarakat Islam yang khas.  Ia  tidak hanya  menjalankan peran kenabian akan  tetapi  lebih menjalankan  tugas seorang raja yang mengatur  suatu komunitas.

2.      Masa Khulafa al Rasyidin
After the death of Muhammad, about whose wishes concerning succession on the leadership of the community nothing is authentically known, the gravest matter before the moslem community was the decision to whom, at any time, the office caliph should fall. Assurance that the prophet’s work would be carried on lay in the felicitous choice of the caliph.[4]
Persoalan ini hingga dikenal berbagai mekanisme penetapan kepala Negara dan berbagai criteria yang sesuai sosio historis yang ada. Sahabat Abu Bakar ditetapkan khalifah berdasarkan “pemilihan suatu musyawarah terbuka”, Umar bin Khattab melewati “penunjukkan oleh kepala Negara pendahulunya”, Usman bin Affan berdasarkan “pemilihan dalam suatu dewan formatur” dan Ali bin Abu Thalib melalui musyawarah dalam pertemuan terbuka.


3.      Masa pasca Khulafa al Rasyidin
Setelah masa kekhilafahan, timbullah masa dinasti yaitu kekuasaan yang dipegang oleh keturunan Umayah dan kemudian keturunan Abasiyah, pada suatu kurun waktu tertentu, di dunia Islam dikenal 3 dinasti : dinasti Abbasiyah di Baghdad, dinasti Umayyah di Andalusia, dan dinasti Fathimiyyah di Mesir.
Pada masa Nabi tercermin prinsip-prinsip siyasah dari adanya piagam Madinah yang dipegung teguh oleh para Khulafa al Rasyidin, prinsip-prinsip itu berupa : persatuan, persamaan, keadilan, perdamaian, musyawarah, kemanusiaan, kejujuran dan pemimpin sebagai abdi masyarakat, tapi pada masa dinasti prinsip-prinsip itu tergeser sehingga kekuasaan yang menjadi panglima dan bukan hukum menjadi panglima dengan perebutan kekuasaan. Akhirnya tergambarkan dari keruntuhan kekuasaan Abbasiyah dan Umayyah.
4.      Pada Pertengahan Abad Kedua Puluh
Masa ini terjadi dekolonisasi Negara-negara muslim yang terpisah satu sama lain akibat kolonial, mulai memerdekakan diri yang umumnya negeri-negeri merdeka ini dipimpin pimpinan yang terdidik secara barat.
Dunia Islam dewasa ini dilihat dari pelaksanaan siyasah syar’iyyah dapt dibagi menjadi 3 tipe :
·         Negara yang melaksanakan hukum Islam secara penuh, pola integralistik
·         Negara yang menolak hukum Islam secara penuh, pola sekuleristik
·         Negara yang tidak menjadikan sebagai suatu kekuatan struktural (dalam sektor politik) tetapi menempatkannya sebagai kekuatan kultural atau mencari kompromi, pola simbiostik.
Pemikiran tokoh-tokoh dalam politik Islam dapat dikategorikan menjadi dua periode yakni periode pra modern dan modern. Kedua masa itu pada hakikatnya para pemikir politik Islam bergulat pada upaya untuk mencari basis intelektual dari hubungan politik dan Islam.
a.       Pada masa pra modern pemikiran politik Islam dipengaruhi oleh pemikiran yunani, melalui kajian filsafat.
b.      Sedangkan pada masa modern pengaruh politik barat terhadap politik Islam sudah masuk melalui imperalisme.
Upaya-upaya dalam pencarian basis intelektual tersebut bertujuan untuk mendapatkan aspek-aspek yang baru dari relasi antara Islam dan politik diantaranya.
·         upaya untuk mencari sistem (the nature of autority).
·         upaya untuk mencari format pemerintahan.
·         mencari rekonsiliasi atau titik temu antara realitas Islam dan realitas politik.
Dikalangan Umat Islam sampai sekarang terdapat tiga aliran tentang hubungan antara Islam dan politik.
Aliran pertama, berpendapat bahwa Islam bukan semata-mata agama dalam pegertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan, sebaliknya Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap yang mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara. Tokoh utama aliran ini antara lain Syekh Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, Muhammad Rasyid Ridla dan  Abul A’la al-Maududi.
Aliran kedua, berpendapat bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini Muhammad hanyalah seorang Rasul biasa seperti halnya Rasul-rasul yang lain, dengan tugas utama mengajak (dakwah) manusia kepada jalan Tuhannya dengan menjunjung tinggi nilai moral, dan Nabi tidak dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai suatu negara. Pendapat ini dalam khazanah pemikiran Islam kontemporer diwakili oleh seorang ulama Mesir, Ali Abd ar-Raziq, dalam risalahnya yang sangat ramai diperdebatkan, al-Islam wa Ushul al-Hukm (Islam dan Dasar-Dasar Kekuasaan), pernah mengemukakan bahwa Muhammad hanyalah seorang rasul dan juru dakwah, bukan seorang pemimpin negara.
Aliran ketiga, menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap. Tetapi aliran ini pula menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian sekuler yang hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Aliran ini berpendapat bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Salah satu tokoh yang mendukung pendapat ini diantaranya adalah Mohammad Husein Haekal, Fazlur Rahman dan di Indonesia tokohnya Nurcholish Madjid
C.    Sebab-sebab Timbulnya Aliran Politik Dalam Islam
Pada masa Nabi SAW dan para Khulafa al Rasyidin, umat Islam bersatu, mereka satu akidah, satu siyasah, satu politik, satu akhlaqul karimah, kalau mereka ada perselisihan pendapat dapat diatasi dengan wahyu. Awal mula adanya perselisihan dipicu oleh Abdullah bin Saba’ (seorang Yahudi) pada pemerintahan Usman bin Affan dan berlanjut pada masa khalifah Ali bin Abu Tholib.
Awal mula timbulnya aliran politik pada masa khalifah Ustman bin Affan (setelah wafatnya), pada masa itu dilatarbelakangi oleh kepentingan kelompok yang mengarah terjadinya perselisihan sampai terbunuhnya Khalifah Ustman. Kemudian digantikan oleh Ali bin Abu Thalib, pada masa itu perpecahan umat Islam terus berlanjut. Umat Islam pada masa itu ada yang pro terhadap kekhalifahan Ali bin Abu Tholib, yang menamakan dirinya kelompok syiah, dan ada yang kontro dengan nama kelompok khawarij[5]. Akhirnya perpecahan memuncak kemudian terjadilah perang jamal yaitu antara Ali dengan Aisyah dan perang Shiffin antara Ali dengan Muawiyah. Bermula dari itulah akhirnya timbul berbagai aliran politik di kalangan umat Islam, masing-masing kelompok juga terpecah belah, akhirnya jumlah aliran politik di kalangan umat Islammenjadi banyak seperti aliran Syiah, Khawarij, Murji’ah, Jabariyah, Mu’tazilah dll
Perbedaan Pokok Aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah dan Syiah .
1.      Khawarij
هذه إشارات موجزة الى فرقة الشيعة, و فى جانب الآخر من الفكر الإسلامى طائفة الخوارج, و هم فرقة مختلفة , و قد كان أول ظهورهم فى جيش على كرم الله وجهه عقب قبوله فكرة التحكيم فيما بينه رضى الله عنه و بين معاوية, و هم الذين حملوا علين رضي الله عنه على قبوله التحكيم ابتداء , و بعد أن قبله ونقد التحكيم, و إنتهى الى ما إنتهي إليه من أنه كان خداعا من الفئة الباغية, ثارو على الإمام على رضى الله عنه. لأنه أخطأ و كفروا, كما اخظئوا و كفروا بالتحكيم , ولكنهم تابوا و أنابوا , و عليه أن يتوب مثلهم, وكانوا يصيحون فى وجه رضي الله عنه : كلما خطب : لا حكم إلا الله. [6]خخظئوا و كفروا ا  
a)      Doktrin politik. Contohnya:
  Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat islam.
  Khalifah tidak harus berasal dari keturunan arab atau kabilah tertentu
  Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh.dll[7]
b)      Doktrin teologis social. Contohnya:
  Amar ma’ruf nahi munkar
  Quran adalah makhluk
  Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan
2.      Murji’ah:
a)      Bidang Politik,
 Murji’ah diimplementasikan dengan sikap politik netral atau non-blog, dan mereka selalu diam dalam persoalan politik.
b)      Bidang teologis,
Memberi harapan terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah, dan menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
3.      Mu’tazilah:
 a) Bidang politik,
 Menganut politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik.
 b) Bidang teologis,
 Mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Murji’ah tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar. Menurut Mu’tazilah bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.
4.      Syiah
Kebencian yahudi terhadap Islam tak berakhir. Ada banyak orang yahudi yang berpura-pura masuk agama islam untuk menyusup.Pada zaman umar, ada seorang keturunan yahudi bernama abu lu’luah yang berpura-pura beragama islam. ia berhasil menusuk umar bin khatab ketika umar mengimami jamaah shalat shubuh.

و الشيعة في جملتهم يرون أن عليا أحقّ المسلمين بخلافة النبى ص.م , و أنه كان الخليفة المختار من النبى ص.م , ويعتقدون مع ذلك, أن اللإمامة ليست من مصالح العامة التى تفوض إلى نظر الامة, و يتعين القائم بها يتعينهم , بل هي ركن الدين و قاعدة الإسلام, و لا يجوز للنبى إغفالها و تفويضها إلى الأمة, بل يجب عليه تعيينالإمام لهم.[8]

Selain abu lu’luah, ada Abdullah ibn Saba’, seorang pria berdarah Yahudi, yang juga datang ke madinah berpura-pura menjadi seorang muslim. Saat kekhilafahan ‘Ali ibn Abi Thalib, Ibn Saba’mulai menyebar fitnah. Ia menyanjung ‘Ali secara berlebih-lebihan, mendakwahkan adanya wasiat bagi ‘Ali tentang kekhilafahan setelah Rasulullah, dan lebih berbahaya dari itu semua ia mendakwahkan Ali sebagai seorang nabi, sampai kepada pengakuan bahwa dia adalah Allah. Ia pula orang pertama yang mencela Abu Bakar, Umar, Utsman dan sahabat lainnya. Fitnah lainnya, ia menyatakan bahwa Al Qur’an yang ada belum sempurna, sisanya ada pada Ali dan Ahli Bayt-nya.
Ibn Saba’ dibuang oleh Ali ke daerah yang bernama Madain karena kesalahannya. Namun di sanalah Ibn Saba mendapatkan kesempatan besarmenyebarkan kesesatannya. Danpenduduk Madain pun menyambut hangat ajakan Ibn Saba’.
Penduduk Madain mudah menerima ajakan Ibn Saba’ karena dahulu Madain adalah bagian dari kerajaan Persia, karajaan terbesar di dunia saat itu dan ditakuti masyarakat Arab.Madain lalu menjadi daerah kekuasaan Islam setelah ditaklukan oleh para prajurit Umar ibn Khathab yang datang dari pedalaman padang pasir. Di sana masih ada sebagian keturunan raja-raja Persia dan para hartawan menaruh benci dan permusuhan terhadap Islam yang telah menjatuhkan kerajaannya, menghancur leburkan peradabannya, dan memadamkan agama yang dianutnya, Majusi.
Hasil usaha Ibn Saba akhirnya berasil. Lahirlah Syi’ah sebagai kolaborasi kesesatan Yahudi dan Majusi dalam menghancurkan akidah Islam. Keyakinan keutamaan keturunan raja dalam agama Majusi terjadi pada Ali dan keturunannya. Kebencian terhadap sahabat, terutama Umar ibn Khathab yang telah mengusir Yahudi dari Jazirah Arab dan meruntuhkan kerajaan Persia, tertanam kuat di hati-hati mereka.



BAB III
PENUTUP
A.     KESIMPULAN

Ø  Istilah politik yang dimaksud dalam Islam berasal dari kata :
ساس يسوس سياسة yang berarti mengatur, mengendalikan, mengurus dan membuat keputusan, oleh karena itu arti siyasah/politik secara etimologi adalah pemerintahan, pengambilan keputusan, pembuat kebijakan, pengurusan, pengawasan, perekayasan dan lain-lain.
Sedangkan makna istilah, fiqh siyasah atau siyasah al-syar’iyyah diartikan sebagai berikut:
Menurut Ahmad Fathi:
تد بير مصـــالح العباد على وفق الشرع
”Pengurusan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan ketentuan syara” (Ahmad Fathi Bahantsi dalam al-siyasah al-jinaiyyah fi al-syari\’at al-Islamiyah).

Ø  Seajarah timbulnya aliran politik dalam islam di bagi menjadi:
ü  Masa Rasullullah
ü  Masa Khulafaurrasyidin
ü  Masa pasca Khulafaurrasyidin
ü  Pada Pertengahan Abad ke Duapuluh
Ø  Sebab timbulnya aliran politik dalam islam adalah Awal mula timbulnya aliran politik pada masa khalifah Ustman bin Affan (setelah wafatnya), pada masa itu dilatarbelakangi oleh kepentingan kelompok yang mengarah terjadinya perselisihan sampai terbunuhnya Khalifah Ustman. Kemudian digantikan oleh Ali bin Abu Thalib, pada masa itu perpecahan umat Islam terus berlanjut.


DAFTAR PUSTAKA


Djazuli, Ahmad, 2003,Fiqh Siyasah,Bogor: Prenada Media
Esposito, Jhon, 2010, Islam Masa Depan, Bandung: Mizan
Goldziher, Ignaz, 1981,Introduction to Islamic theology and law, New Jersey: Pricenton University Press
Hadi, Syamsul, 2004, Tarikh Islam, Ponorogo: Darussalam Press
Hady, Samsul, 2011, Politik Islam, Malang, UIN Maliki Press
Kencana, Inu,1996, Al-Qur’an dan Ilmu Politik,I, Jakarta: Rineka Cipta   
Sudjana, Eggi, 2008, Islam Fungsional, Jakarta: Raja Grafindo Persada
Rozak, Abdul , 2001, Ilmu Kalam, Bandung: CV Pustaka Setia
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, 2011, Ilmu Kalam, Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press
محمد ابو زهرة, تاريخ المذاهب الاسلامية, القاهرة: دار الفكرالعربي






[1] Inu Kencana Syafiie, Al-Qur’an dan Ilmu Politik, 1996, Jakarta: PT RINEKA CIPTA hal. 74
[2] Ahamd Djazuli, Fiqh Siyasah, 2003, Jakarta: Prenada Media hal.2
[3] Ahamd Djazuli, Fiqh Siyasah, 2003, Jakarta: Prenada Media hal.43

[4] Ignaz Goldziher , 1981,Introduction to Islamic theology and law, New Jersey: Pricenton University Press. Hal 169
[5] Prof. Dr. Abdul Rozak, M.ag, 2001, Ilmu Kalam, Bandung: CV Pustaka Setia. Hal. 49
[6] محمد ابو زهرة, تاريخ المذاهب الاسلامية, القاهرة: دار الفكرالعربي. ص. 53
[7] Prof. Dr. Abdul Rozak, M.ag, 2001, Ilmu Kalam, Bandung: CV Pustaka Setia. Hal. 51
[8] محمد ابو زهرة, تاريخ المذاهب الاسلامية, القاهرة: دار الفكرالعربي. ص. 49